Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Sabtu, 31 Desember 2011

Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi,
sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta,
batas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang,
keabadaian yang akan datang

Dengan puisi aku menangis,
jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk,
nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdo'a,
perkenankanlah kiranya


by: Taufiq Ismail

Kamis, 22 Desember 2011

Kerinduan Bumi

Dengarkah kau?

Tangis bumi ditinggal masa

Yang terlewat dengan segera

Dan kini dijejak nafsu yang berkuasa


Lihatkah kau?

Wajah bumi dicecar luka

Sebab sentuhan tangan-tangan tak berjiwa

Menghampar neraka beraroma syurga


Tahukah kau?

Bumi tengah merindu


Bumi merindu pada suatu waktu

Kala taman-taman dipenuhi bunga yang tersipu

Semerbak harumnya tak mudah diserap kumbang tak tahu malu

Penuh kesucian, ia menunggu


Bumi tengah merindu,


Bumi merindu pada keluarga yang padu

Berpondasi kasih Illahi nan abadi

Mencipta pemimpin gagah berani

Bermodal kalam yang suci


Bumi tengah merindu,


Bumi merindu pada penguasa yang ruku

Yang bertahiyat di tengah rakyat

Lalu bertasbih setiap saat

Dan sujud pada kebenaran tanpa karat


Bumi tengah merindu,


Bumi merindu pada dermawan tak bertopeng

Mengulur kanan tanpa terlihat kiri

Menebar benih dengan berjinjit api

Dan tersenyum seikhlas hati


Bumi bertanya padamu

Masa yang dirindu,

Adakah ini tinggal kerinduan?

Senin, 19 Desember 2011

Jawab Atas Tanya: Mengapa Aku Lama Tak Menyapamu


Bogor,
19 Desember 2011

Kawan, rindukah kau padaku? Sungguh aku merindukanmu. Aku benar-benar rindu, rindu tak tertahankan. Aku rindu mengungkap kisah hidupku yang kadang tidak terlalu penting bagimu. Aku rindu menari di atas keyboard yang kadang sampai berapi-api. Rindu. Benar-benar rindu. Adakah kau merinduku, kawan?
Aku sudah sangat lama tidak merangkai huruf menjadi kata dan kata menjadi kalimat, lalu kadang ia meresap ke dalam kalbu atau hanya jadi angin lalu. Ahh,, betapa saat-saat yang membuat bibirku tak henti menyungging senyum. Lalu kau bertanya mengapa belakangan ini aku seolah menghilang tak ada kabar, bahkan sekedar menyapa pun tidak. Aku punya alasan, ah bukan alasan, aku punya ganjalan, kawan. Dengarkan aku..
Akhir-akhir ini rasanya ada sesuatu yang menekanku. Sebuah rasa yang sangat tak menyenangkan hati. Membuat gerak jariku terhenti bahkan sebelum ia memulai untuk menari. Membuatku menjadi patung. Tidak melakukan apapun, meski hanya melafaskan seuntai kata. Rasa ini kawan, sangat mengganjalku. Takut. Ya, aku sangat takut.

Takut akan tulisan-tulisanku. Itulah rasa yang menggangguku, kawan. Pernahkah kau dengar bahwa kita akan diuji dengan apa yang kita ucapkan? Lalu aku memikirkannya. Terlalu banyak kata yang kuucapkan dalam duniamu ini, kadang aku melebih-lebihkannya. Apakah apa yang kutulis ini kelak akan menghampiriku? Sering aku bertanya begitu,kawan. Bukankah orang yang tidak mengerjakan apa yang ia ucapkan sama saja dengan munafik? Ah, akukah itu? Orang munafik itu? Maka tanya-tanya itulah yang menyerbuku, setiap kali jari hendak mendarat di papan huruf dan simbol ini (baca:keyboard). Dan takutlah aku, lalu aku kembali, merapatkan jemariku yang merengek ingin menari. Aku tersiksa.
Namun, apakah dengan diam masalah terselesaikan? Tidak. Rindu itu datang. Rindu menjadi penulis bebas, yang leluasa menumpahkan rasa dalam cerita. Rindu teramat sangat bercengkrama dengan diri sendiri, menuntut solusi yang bersarang dalam mimpi. Ah, rinduku pun tak terbendung pada kebebasan berteriak tanpa batas. Tak khawatir adik bayi terbangun atau orang tua tertegun, teriakku membahana memecah langit, membuka angkasa lewat kata yang menjelma! Aaahh, aku benar-benar rindu. Seperti rindu Ibu pada anaknya di rantau. Aku rindu seperti itu. Ingin lekas bertemu dan memeluknya erat, tak akan kulepas lagi. Huruf dan huruf merangkai padu, mengukir kebebasanku tanpa ada yang menjadi penghalang. DENGARKAN AKU! AKU RINDU!! 
Ahhh,, lega rasanya kuluapkan takut ini. Itulah sebab aku tak menyapamu untuk waktu yang lama. Dan aku tidak bisa menahannya lagi, kawan. Aku tidak akan membiarkan takutku mengungkung ide dan ceritaku. Akan kujadikan takutku sebagai tameng atas tindakanku. Akan kubuktikan, AKU BISA! Aku bisa berdiri, tegak bersama seluruh kata yang dapat terucap. Selama jiwa masih besarang di jasadku, tak akan kubiarkan detik berlalu tanpa sebuah kata! Semua semangat akan mati, kecuali semangat berlandas iman! 

Allah, tetaplah menjadi obor semangatku..

Selasa, 06 Desember 2011

Sandiwara Negeri Ini dan Drama Korea

Aku benar-benar tidak tahu harus menulis apa, kawan. Tapi ada gemuruh dalam jiwa ini, pula teriakan jari-jari nakal yang menyerukan aku untuk menulis. tapi sekali lagi, pikiranku tak mengerti apa yang sedang diinginkan oleh prajuritnya ini. Ahh, terkadang komandan mesti beristirahat sejenak bersama prajuritnya, ngobrol santai dan menjadi bagian dari mereka. Maka, baiklah.. aku akan ikuti mau kalian, kemanakah hendak dibawa obrolan ini?

Kemarin, ada suara ribut-ribut di samping kosanku, rupanya pemuda dan bapak-bapak sedang mengejar seorang pencuri. Yap, pencuri alias maling. Aku yakin bila pencurinya tertangkap, setidaknya tiga perempat badannya akan habis dan berhias biru kehitaman. setidaknya itu dugaanku, dan aku rasa aku benar. Pencuri itu tidak terlalu profesional sehingga ia tertangkap basah dan habislah ia.

Bahkan di tempat aku berdiri ini, dimana intelektualitas diagungkan dan dijadikan tameng nomor satu, main hakim sendiri tetap ada dan lestari. Mengapa ya, semakin banyak orang terdidik justru moral bangsa semakin turun sampai pada tingkat terendah, kalau kau tak percaya, sesekali tengoklah gedung wakil kita yang megah itu, disanalah sandiwara busuk terjadi. sudah mendarah daging hingga sulit untuk dilepaskan antara pejabat pemerintah dan kata korupsi, kolusi, nepotisme. Bagai saudara kembar yang sulit dipisahkan. Atau jikalaupun ada yang jujur, ia bagaikan nelayan yang tersaruk badai di tengah lautan, suatu saat akan tersapu juga, mengikuti arus atau tenggelam.

Lalu mengapa?
Aku menghubungkan hal ini dengan drama korea yang baru saja kutonton, hhe agak gak nyambung ya? Tapi menurutku sih nyambung-nyambung aja. Okeh, jadi gini, aku baru saja menonton drama korea yang cukup bagus ibrohnya, diluar dari kisah cinta yang ada di dalamnya, aku mendapatkan suatu kesimpulan. Manusia akan berlaku lebih baik saat ia tahu kapan ia meninggal. Yap, di kisah itu, ketika ia mengetahui batas akhir hidupnya, ia melakukan semua hal sebaik mungkin, semaksimal yang ia bisa, dengan sungguh-sungguh.


Bagaimana kiranya jika kita mengingat Firman Allah:
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya." (QS Al-An’am 6:93)


"(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat lalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); “Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun”. (Malaikat menjawab): “Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan”. Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu." (QS, An-Nahl, 16 : 28-29)

Dan inilah ucapan malaikat ketika menunjukkan rumah akhirat seorang dzalim di neraka, “Wahai musuh Allah, itulah rumahmu kelak, bersiaplah engkau merasakan siksa neraka”. Naudzu bila min dzalik!

Masihkah akan ada sandiwara busuk di pentas dunia?






Minggu, 04 Desember 2011

Kakakku Nomor Satu

Bahwa setiap pertemuan akan ada akhirnya, itu benar. Pula perpisahan mampu membuatmu mengerti arti sebuah proses pun benar. Dan aku merasa Allah tengah mengujiku dengan ini. Baiklah kawan kuceritakan padamu meski kau mungkin bosan mendengar ceritaku, cerita anak kecil yang lama besarnya.

Aku bertemu dengannya semenjak aku lahir. Ditakdirkan menjadi salah satu bagian dari hidupnya yang kesekian. Yap, dia adalah kakakku nomor satu. Jangan salah sebut namanya, karena nanti artinya bisa beda (kayak baca Qur'an aja.. -_-'). Namanya: Tsaqif Al-Muqodam. itu nyebut 'tsa' nya agak digigit ya lidahnya, terus tuh 'qif' dan 'qo', hurufnya keluar dari pangkal lidah dekat tenggorokan, sejajar dengan langit-langit lunak, awas jangan sampe salah oke.

Dia kakakku nomor 1. aku anak nomor 9. Dia laki-laki, dan aku perempuan. Jadi jelas kami berbeda jauh, sangat jauh kurasa. Yang paling kuingat tentangnya adalah satu masa dalam hidupku, ketika itu aku masih SMP dan ia sudah kapan taun lulus kuliah. Aku diajak berfoto di studio foto! Walaupun hanya sebuah studio foto kecil, di pinggir jalan dekat rumahku, tapi itu membawa kesan teramat dalam bagiku. Ahh, ini mungkin penyebabnya kini aku menjadi obsesi untuk difoto (baca:narsis).

Sedikit suara yang keluar dari mulutnya, dia tak banyak bicara. kadang hanya menjitak kepalaku lalu pergi (grr!). Lagipula ia tak sering berada di rumah. Aku yang kecil dan polos ini tak memahami apa yang ia lakukan di luar rumah. Jadilah kami adik-kakak yang begitulah, berkomunikasi dengan bahasa kami. 

Namun tiba-tiba malam itu ia pergi. Lalu tak pernah kembali. Air mata membanjiri rumahku, serasa langit pun turut bersedih, kelam tak berbintang. Ia diambil Sang Kuasa saat hendak menuju rumahku. Saat aku mulai tahu betapa perjalanan hidupnya mengagumkan. Saat Ibu menanti penuh harap, ingin bertemu sang sulung. Saat ayah tengah yasinan karena ada tetangga yang meninggal, dan kini harus mempersiapkan yasinan untuk anaknya sendiri.

Ia pergi tiba-tiba. Benar kan? Sebuah pertemuan akan ada akhirnya. Dan ia pergi sebelum mengajakku ke studio foto bersama anaknya. Ahh,, maaf  kawan, meski hubungan kami terlihat tak dekat, namun sesungguhnya kami berasal dari sumber yang sama. Karena itulah aku tiba-tiba merindunya malam ini..

Aku cukupkan dulu ceritaku, kawan. Jam malam Al-Iffah sebentar lagi tiba, aku harus segera pulang!