Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Sabtu, 23 Juni 2012

Jawaban untuk Peri Kecilku

Peri kecilku, maaf aku lama berdiam diri,
kurasa kini adalah waktunya kau duduk tenang,
bersamaku berhadapan, mendengar resah sang hati
bukankah kau ingin tahu,
tentang senyum beberapa waktu yang tersaji tak seindah bulan sabit
malah kayak adonan roti yang dibanting-banting, kusut
tapi bukankah akhirnya jua adonan itu kalis?
dan di lidah terasa manis?
begitulah mungkin hidupku
kini sedang dibanting-banting
oleh rasa
oleh hawa
oleh jiwa
dan sanubari
kau tahu rasanya  seperti apa?
sakit memang
dan bukan hanya diri yang menangis,
orang-orang yang kucinta pun hatinya sempurna teriris
tapi bukankah ini proses, agar kalis, agar manis
begitu kan peri kecilku?

Peri kecilku, maaf aku lama membuatmu bingung
mungkin tercipta beragam praduga
maka lewat kata aku bercerita
karena jika harus lisan ini berkata
aku tak kuasa membiarkan peri kecilku pun menyumbang air mata
biar, biarlah aku saja, peri kecilku,
kau belajarlah dariku
bahwa hatimu, jagalah ia untuk dia yang menunggu
bahwa pada mereka yang mendidikmu, bahagiakanlah sekuat kau mampu
bahwa kata menyerah, jangan jangan sampai terucap meski hanya satu

Peri kecilku, darimu kupinta do'a
agar aku dikuatkan Yang Kuasa
merelakan segala asa dan cita
demi kebahagiaan lain yang lebih berhak kucipta

Peri kecilku, kapan kau baca ini
mungkin segera setelah selesai kurilis
mungkin nanti siang sebelum ujian
atau setelah ujian?
kalau sampai kau baca ketika aku sudah di negeri yang sejuk
maafkan aku tak sempat bercerita apa-apa

Kamis, 21 Juni 2012

(ternyata) Aku Tahu Kusmana

Kawan yang tak pernah kusapa maafkan aku
bukan karena membencimu aku diam membisu
tapi aku benar-benar tak tahu
bahwa orang itu adalah dirimu

mendengar namamu pertama kali
adalah saat pesan menembus udara mendarat di ponselku
tentang kepergianmu
entah mengapa tanpa ragu,
aku ikut melayat ke rumahmu, ingin bertemu

tapi apalah daya,
rumahmu itu ujung dunia
lewati gunung, laut dan sejuta pesona
namun mataku hanya terpejam
menahan mual tak tertahankan

aku tiba di rumahmu
tepat saat kumandang isya digemakan
ragamu sudah dipeluk tanah
kau sudah ditemani malaikat bercahaya

Kawan yang tak pernah kusapa maafkan aku
baru seminggu kemudian aku tahu
saat pengawas ujian bertanya,
"Yang namanya Kusmana, hadirkah?"
serentak seisi kelas berduka,
"Meninggal kak" jawab mereka

Kawan aku baru tahu,
aku tahu dirimu
maafkan aku

Jasadmu memang sudah terkubur
tapi namamu akan selalu terkenang
sebagai prajurit dalam barisan perang
yang syahid, meski bukan di medan perang
satu nama dalam kata
Kusmana

Dua Puluh Delapan Hari Lagi

dua puluh delapan hari lagi
waktu-waktu mulia akan kembali
lihatlah ke segenap penjuru negeri
tak kah kau lihat malaikat-malaikat berjejer rapi?

“Wahai manusia, sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yg paling utama."

dua puluh delapan hari
hari dimana syaithan dikebiri
tak mampu menggoda manusia lagi,
tapi itu setan jenis iblis, lihatlah dengan hati
tak kah kau lihat syaithan-manusia tetap beraksi?

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, .. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.”

dua puluh delapan
apakah sudah kau siapkan raga
beserta segenap jiwa
agar kelak tak hanya menndapat lapar dan dahaga
tapi pula ridha dari Yang Maha Kuasa

dua puluh
waktunya hanya dua puluh tambah sepuluh hari
bukan untuk bermalas diri
namun mendekat pada Illahi
setiap detiknya mengajakmu merenungkan
tentang mereka yang berlapar sepanjang tahun


dua,
namun yang harus kau pahami jua
bahwa tak ada yang menjamin kau masih punya nyawa
saat semilir angin Ramadhan menyapa
karena jiwa-jiwa kita
adalah mutlak milik sang Pencipta


"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.." (QS An-Nisa 4:78)
...
masihkah kau diam?

Senin, 18 Juni 2012

Keputusan, Ayah, Ibu

Kawan, apa kau pernah berselisih paham dengan orangtua? Bukan, bukan karena kau benci, tapi ada pendapat yang tidak kau setujui.. lalu bagaimana sikapmu? Mempertahankan egomu? Atau diam dan mengalah? Kali ini izinkan aku bercerita tentang orangtua..

Aku seperti kebanyakan anak lainnya, menyayangi orangtua. Tapi apa boleh dikata, meskipun dari rahimnya aku ada tapi isi kepala kami berbeda. kini umurku dua puluh tahun kurang sembilan hari, sudah dua tahun lebih aku tak serumah dengan orangtua. dan harus kusadari, pemikiran kami berbeda. semestinya tak ada masalah, dalam pandanganku aku bisa memutuskan hidupku sendiri. tapi tidak bagi mereka.

Pernahkah kau bayangkan dirimu seorang Ibu atau Ayah? Lalu setelah belasan tahun kau didik, tiba-tiba anakmu mengatakan hal yang sangat tak ingin kau dengar? Sebuah perbedaan. Aku ingin mengungkapkan pendapatku, tapi apa mau dikata, aku seorang wanita. demi melihat air mata ibuku, aku haru. Tertunduk malu, dua puluh tahun dan tangis yang kucipta di wajah tuanya? teringat pada sebuah peringatan: “Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam surga.” (HR.Muslim)
Kawan, dengarkah itu, tiga kali peringatan!

Dalam Islam, setelah tidak menyekutukan Allah, kau diminta taat pada kedua orang yang menemani harimu semenjak kau dapat menghirup udara dunia, melihat semarak mekarnya bunga-bunga, menikmati pelukan pertama orang itu, Ibu dan mendengar adzan dari orang itu, Ayah. Kepada merekalah ridha Allah ditautkan. kepada mereka jualah murka Allah dititipkan. Maka pada dasarnya menaati orangtua adalah manifestasi dari ketaatan kita pada Yang Maha Kuasa. aku tahu, ratusan kali kudengar ini. tapi sekedar tahu?

Allah, padaMu kupasrahkan segala urusanku. Berkahilah keputusanku ini. Aamiin.

Kue Bu Rahmi

hari ini,
kue-kue tersenyum di hadapanku
tapi tak seperti biasa lakuku
tanganku kaku
hanya melihatnya saja tak bernafsu
aku terheran sendiri, apakah kau pun begitu?

sebelum kue itu dihidangkan
aku masuk ke dalam sebuah rumah
bau kapur barus segera merekah
satu dua orang berdiri payah
hatinya sudah lelah

seorang dosen duduk di sampingku
menatap ke depan, tapi bukan menatapku
matanya merah, angguknya lemah
saat satu persatu wajah-wajah menyapa
sendiri,
tersedu sedan,
siapakah yang kuat tak menyumbang air mata?

"Pak, mau ikut memandikan?" wanita itu berkata
dosen di sebelahku mengangguk, masih lemah lalu beranjak
bersama air yang mengalir, air matanya tak habis-habis

kudengar angin berucap bela sungkawa
seorang syahidah tiada
setelah berjuang penuh daya
memberi kehidupan untuk seorang manusia

adalah sebuah kepastian
ada yang menghirup nafas
dan mengakhiri nafas
meskipun satu jiwa
satu aliran darah

syurga, berbahagialah..
ada satu lagi bidadari kembali

bumiku, bersedihlah..
seorang mulia telah pergi

18 Juni 2012
mengenang Bu Rahmi, dosen AGH

Minggu, 17 Juni 2012

Empat Wajahku di Institut Ini

Aku merasa setiap pertemuan dengan orang lain adalah sempurna telah ditata. Dari Bandung, aku ke Bogor, dan kutemui orang-orang yang sejatinya adalah cerminan dari diriku sendiri. benarlah sebuah hadits "Bila ingin tahu seseorang, lihatlah teman baiknya." Yap, aku merasa benar-benar bertemu diriku dalam diri-diri mereka. seakan bercermin. nyata, sungguh nyata. Hari ini biarkan aku mengenalkanmu, pada wajahku dalam diri yang lain.

Wajah ini terlihat sendu, karena dia bilang ia setiap hari menangis karenaku. aku sendiri heran, ada ya orang yang sebegitu inginnya diperhatikan olehku? Kawan, dialah wajah pertamaku di Institut ini. pertama kali bertemu, ia tersenyum, bercanda tawa, meskipun ia lebih banyak diam dan aku yang berkata. Kalau ingin mendengarnya bercerita, kau harus sabar, karena intonasinya yang super duperrrrrr lembut, kadang seperti berbisik, takut oang-orang di sekitarnya mendelik. ya, dialah diriku yang lain kawan, sang melankolis sejati yang mengajarkanku sebuah kesabaran.

Wajah keduaku. dia ekspresif. Ketika ingin menangis, ia akan menangis. Ketika tertawa, ia tertawa seketika. Ketika ingin berteriak, tak kenal waktu tak kenal tempat, ia pun berteriak. Ia adalah wajah yang terkungkung oleh pemikirannya sendiri. padahal jika kau mau tahu, ia punya segudang potensi. namun ia simpan rapi sendiri, merutuki diri. ahh, di balik ekspresinya itu, sebenarnya ia kesepian. butuh seorang teman. Dialah sang ekspresif yang membuat diriku kian bijak.

Wajah berikutnya hampir benar-benar serupa diriku. pertama kali aku bertemu dengannya, aku benar-benar merasa bercermin. Pertama kali berkenalan, kami berdiri di panggung bersama dan sama-sama melakukan hal yang sama: membaca puisi. Itu salah satu persamaannya, ia suka berpuisi. Aku melihat, apa yang ingin kulihat dari matanya dan mengucapkan apa yang ingin kuucapkan dari mulutnya. hehe, lebay juga ya. dialah diriku yang lain, menampilkan keanggunan.

Wajah yang ini selalu terlihat ceria. Satu-satunya hal yang membuatnya tersenyum sekenanya hanyalah ketika ia merasakan sakit. Tapi ia tetap tersenyum, ikhlas sekali terasa. Dia suka nyanyi, suka akustik, suka drum band, suka sekali musik! Dialah wajah gembiraku, yang jarang kutonjolkan. Karena, jujur, meskipun aku suka nasyid, tapi suaraku tak seindah suaranya. jadi daripada aku membuat tetangga terbangun segera, lebih baik kupendam suaraku, dan aku menemukannya di wajah ini. Maestro musik, memberi nada kehidupan.

Kawan, Empat wajah dulu yang kuperkenalkan padamu. Kelak, jika Allah mengizinkan aku akan bercerita banyak padamu, tentang wajah-wajah lainku disini.

Jumat, 08 Juni 2012

BERIMANLAH!

cahaya memasuki ruang suci,
berkata pada wanita yang sendiri
"Kau akan punya anak"
"Bagaimana bisa sedang tentang laki-laki aku tak tahu banyak?"
"Ini kehendak Sang Pencipta"
"Kalau begitu aku yakin dan pecaya"

lalu kehendak itu nyata
ruh memasuki rahim sang wanita
ia tak banyak bertanya mengapa
sebab Allah di balik segala cerita

satu dua bulan ia aman
memasuki bulan selanjutnya perutnya membesar
maka tak ayal berbagai fitnah tersiar, tersebar
'hamil tanpa suami! dia pezina' begitu suara cacian
ia wanita yang punya hati punya rasa
tapi bukan pada akal atau nafsu ia tundut taat
kalbunya lapang, yakin atas suratan takdir Yang Maha Kuasa

ia pergi jauh dari kampung
tanpa membawa perbekalan dalam karung
hanya iman yang melampaui tegarnya gunung
maka kala lapar menyapa
Allahlah yang berbicara,
kurma turun dengan segera

lisannya ia tutup rapat
kala cacian semakin berat
sambil menggendong bayinya, iman ia perkuat
yakin dan percaya atas ketentuan yang tersirat

maka, Allahlah yang menjawab
melalui lisan sang bayi yang belum sempurna mengenal kata
lancar fasih tiada cela
"Aku ini utusan Tuhan!" begitu ia mengucap

dialah Siti Maryam, wanita pilihan Tuhan
yang padanya syurga dijanjikan
bersama sejuta kenikmatan
atas seluruh raga dan jiwa yang ia korbankan
dan iman yang sempurna tanpa keraguan

dialah Siti Maryam, wanita pilihan Tuhan
untuk kita kisahnya dihadirkan
bukan sebagai celaan
tapi sebagai pelajaran
ada satu kunci ketenangan
IMAN
di lisan
dari hati
dalam perbuatan

Kamis, 07 Juni 2012

Untukmu, Sahabatku di Balik Berlin

Aku menanti sesungging senyum
ikhlas, tidak dikulum
lepas, bukan mengerum
berbekas, aromanya tercium

tapi yang kau hadirkan justru suasana kaku
membuat hatiku beku
dan kaki tangan enggan membuat laku

pepatah berkata bahagia kadang harus dijemput
Aku mencoba tersenyum dahulu
lalu kau palingkan muka tanda tak setuju
atau karena kau malu?
aku tertunduk bersama diammu

kadang, pada sang waktu aku mengadu
dapatkah kuputar ia satu atau dua bulan lalu
agar kuhentikan segala prasangka yang terlanjur meruah
membuat hati-hati yang satu jauh terpisah

hingga kini,
aku masih menanti
senyummu yang ikhlas itu kembali
bersama canda dan tawa berbagi
dalam naungan cinta Illahi