Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Rabu, 30 September 2015

apaapapapa

Kau tak pernah tau, kawan..
bahwa pikiranku tak lagi bekerja seperti dulu
tak lagi menjelajah waktu
tak lagi kepada ingin tahu, berburu
dia diam
tak berkata atau bergumam
hanya diam

kau tak pernah tahu, kawan..
bahwa lisanku kini tidak lagi berkata padu
hanya  berceracau kacau
seperti bangau-bangau
kacau balau

kau tak pernah tahu kan, kawan?
setiap pandanganmu aku takut
setiap langkahmu aku mundur
setiap teriakanmu aku merutuk

kau tak pernah ingin tahu, kan
kawan?

Kamis, 17 September 2015

Kasihani Aku

Aku tak tahu mau menulis apa
hanya saja  jariku terus berteriak minta disapa
sebab seharian aku hanya membiarkannya terlunta
dan inilah jadinya saat mereka berbicara..

PROTA...
PROMES..
RPP...
SILABUS...

kawan, kau tahu??
kata-kata itu terus menghantuiku
bahkan hingga mata tertutup
hingga hilang segala kata
hanya mereka
saja!

hanya kau yang pernah mengajar
di tempat-tempat pemerintahan
atau berhubungan dengan mereka
yang mengerti dan memahami
penderitaanku selama berhari-hari ini

bagimu yang tak mengerti kawan,
kasihanilah aku
sebab membuat beragam khayal sementara ini aku tak mampu

PROTA...
PROMES..
RPP...
SILABUS...

PROTA...
PROMES..
RPP...
SILABUS...
 
..aku hilang..

Jumat, 11 September 2015

Cinta Kakak Nomor Enam

Zaman sekarang kayaknya kalau gak pacaran gak afdhol yah. Masa saya yang udah pake hijab masih juga ditanya sama ibu-ibu tetangga:

"Pacarnya mana?"

saya jawab dengan senyum aja, daripada harus ngeluarin dalil ini itu kan jadi ribet urusannya. Dipikir-pikir harusnya saya bersyukur karena ibu-ibu tanyanya begitu bukannya nanya,

"Kapan nikah?"

kan artinya wajah saya masih wajah remaja yang biasanya pacar-pacaran tuh. Bukan wajah ibu-ibu  yang pantas nikah (maaf kalau ada yang tersinggung. hehe)

Oke, back to the point. Nah, Sebelum nikah, pacaran sudah jelas-jelas terlarang. Mau pacaran biasa ataupun islami sama aja. GAK BOLEH. Titik, gak pake koma. Terserah lah mau pake dalil ta'arufan atau tunangan, yang jelas dua orang yang berlawanan jenis dan bukan mahrom dilarang menyepi. Orang-orang yang gak mau disalahin berarti mencari pembenaran, bukan kebenaran.

Nah, yang mau saya sorot disini adalah tentang kakak saya (lho, kok tiba-tiba ganti topik??). Hehe, tenang saja, kawan  ini masih topik yang sama kok.

Kakak saya nomor enam itu istimewa. Semenjak remaja, dia paling suka sama buku. Pokoknya kalau sudah berduaan  sama buku kagak bisa diganggu dah. Sepanjang pengetahuan saya, dia tidak pernah mengenal wanita.

Dan Allah membawanya menuju dunia pesantren yang membuatnya semakin menutup diri dari wanita. Dia tak pernah berbicara dengan siapapun tentang wanita, tidak seperti kakak-kakakku yang lain. Bahkan kakakku yang sangat pendiam saja punya cerita tentang wanita. Tapi dia, setahuku, tidak pernah menyinggung itu.

Setelah lulus dari pesantren, pemilik pesantren (biasa dipanggil Ustadz) menawarkan kakakku menikah.Wah! Luar biasa kaget keluargaku! Kakakku yang cupu dan lugu mau menikah?? benar-benar kabar yang tak terduga!

tibalah hari itu, Ustadz menjemput kakakku menuju rumah sang calon istri. Ohya, kakakku memakai kacamata sebab kegemarannya membaca buku. Nah, pada hari pertemuan dengan si dia, kacamata kakakku rusak! Jadi dia pergi tanpa kacamata. dan apalah arti  matanya tanpa kacamata??

Akhirnya yang terjadi adalah...

Mamah saya: "Bib,  gimana perempuannya?"

Kakak saya: "Baik, Mah."

Mamah saya: "Cantik?"

Kakak saya: "Gak tau mah, gak keliatan. Kacamata saya rusak."

Dan gara-gara kacamata rusaklah,kakakku tidak jadi menikahinya. Tapi Ustadz gak putus asa, akhirnya memperkenalkan kakakku lagi dengan muridnya yang lain.

Yang terjadi adalah...

Mamah saya: "Bib, gimana?  cantik?"

Kakak saya: "gak tau mah, kacamata saya belum selesai diperbaiki."

waduh! Mamahku cuman senyum-senyum aja ngeliat tingkahnya. Mau gimana lagi? Jodoh kakakku belum datang sebab kacamatanya juga belum  datang dari optik. haha.

Nah, ini nih.. tiba-tiba kakakku dengan kacamatanya yang sudah diperbaiki iu dibawa ke rumah seorang pria gagah yang memiliki anak perempuan yang...ah, pokoknya akhir adegan itu adalah..

Mamah saya: "Bib, gimana?"

Kakak saya: (menunduk malu, mukanya merah) "Cantik mah.."

Itulah pertama kali kakakku melihat seorang wanita dengan jelas. Dan wanita yang dilihatnya pertama kali itulah yang menjadi bidadari dalam hidupnya. Ya, kakakku dan wanita cantik itupun bersatu dalam bahtera rumah tangga...

Enak ya yang jadi istrinya kakakku itu. Dialah satu-satunya wanita yang benar-benar dilihat jelas oleh kakakku. Dia satu-satunya wanita yang menempati hati kakakku.Dia satu-satunya wanita yang mendapat segala yang pertama dan terakhir dari kakakku.

Wanita itu..
Memang pantas dia seberuntung itu..
sebab ia pun menjadi segala yang pertama dan terakhir untuk kakakku
Pertama dan terakhir mencintai dengan dalam
Pertama dan terakhir disentuh bukan mahrom
Pertama dan terakhir berbicara manis dengan lelaki
Pertama dan terakhir segalanya..

Sebab itulah,
Aku pun ingin

Sebab itulah,
Aku pun menahan

Sebab setidaknya
jika memang aku bukan yang pertama,
Aku menjadi terakhir baginya..
terakhir yang bahagia
tanpa diawali dengan dosa..

Selasa, 08 September 2015

aku dan pasukan

Betapa lelah pendengaranku, kawan
tiap hari bermandikan keluhan dan cacian
padahal telingaku lubangnya kecil nian
tapi suara-suara besar itu terus berdesakan
masuk tanpa dipersilahkan

Betapa menyedihkan mataku, kawan
setiap masa memandang tanpa aturan
tengok depan belakang kiri dan kanan
tak mendengar satupun peringatan

Betapa kasihan lisanku, kawan!
lubang satu tapi banyak yang dikeluarkan
menanam dosa tanpa disadari akal pikiran
tiba-tiba hati-hati manusia tersakiti sebab ucapan

Betapa menderitanya aku kawan!
pemilik telinga,mata, dan lisan
harus  menjaga  semua pasukan
penuh ketaatan
agar selamat sampai akhir tujuan

aku,pasukanku,
bersiaplah!!

Cinta di balik Cadar


Seorang lelaki duduk di atas panggung. Dia baru saja datang dari Hadramaut, Yaman. Lulusan dari pesantren ini juga, tapi ia mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Ahqaf, berkat kecerdasannya. Yang kutahu, ia masuk Fakultas Syari’ah, tapi kudengar ia juga menghafalkan Al-qur’an di sana. Entahlah, tapi yang jelas Uwais yang dulu sudah jauh berbeda dengan Uwais yang sekarang. Selain janggutnya yang mulai dia pelihara itu, sekarang Uwais semakin teduh dan berwibawa. Lihat saja, di acara pertemuan alumni pesantren kami saja ia duduk di depan sebagai salah satu pembicara. Walaupun aku hanya melihat dari layar besar di samping kanan tempat duduk wanita, karena dihalangi hijab, tetapi kharismanya telah membuat kami terdiam khusyuk mendengarkannya.

“Ya, mungkin Bang Uwais bisa berbagi sedikit tips untuk kami yang akan segera terjun ke masyarakat ini. Bagaimana caranya menjadi dai yang didengar, Bang? Eh, atau saya lebih pantas panggil Syaikh Uwais ya?” Sang moderator menunduk pada  Uwais sebagai tanda hormat.

“Ah, tidak. Dipanggil Bang saja, saya masih Uwais yang dulu kok. Yaa.. selain janggut ini tak ada yang berbeda dari saya.” Candaan Uwais membuat semua tertawa, termasuk aku. Ya, benar ini memang Uwais yang dari dulu senang bercanda. Uwais yang dari dulu pun sudah kukagumi.

“Baiklah, Bang Uwais.. Jadi bagaimana nih agar lulusan pesantren ini bisa diterima di masyarakat?” Moderator mengulang pertanyaannya.

Uwais tersenyum. “Sebenarnya saya juga tidak pantas memberikan nasihat tentang ini, lha wong saya sendiri saja belum diterima di masyarakat kok. Kemarin bahkan saya sempat dilempari telur. Sampai sekarang baunya tak hilang.” Audiens yang merupakan lulusan baru pesantren tertawa. Aku tahu kejadian itu dari temanku, bahkan katanya masuk koran daerah.

Uwais tengah mengadakan ceramah di daerah pelosok ketika itu untuk merayakan kelahiran Nabi  Muhammad saw. Uwais tak tahu kalau ternyata daerah ini sudah disusupi paham yang sangat membenci pujian terhadap Nabi saw. Mereka melarang segala bentuk shalawat dan pujian untuk Rasulullah saw, karena mereka menganggap itu adalah syirik, bisa membuat kita malah menyembah Rasul seperti yang dilakukan kaum Nasrani.

Maka ketika Uwais menganjurkan penduduk desa itu untuk memperbanyak berbagai shalawat dan membaca maulid, salah satu penduduk berdiri dan berteriak, “Itu Bid’ah!!”
Uwais tentu saja kaget mendengarnya, tapi ia berusaha mengontrol dirinya kemudian menanggapinya dengan tenang, “Coba jelaskan pada saya, dimana letak bid’ah yang saudara maksud?” tanya Uwais.

“Membaca shalawat, membaca maulid, itu Bid’ah!” Pemuda itu masih berteriak. Majelis ta’lim menjadi semakin tegang.

Uwais menarik napas dalam. “Lho, kata siapa itu bid’ah. Bahkan itu berpahala karena Allah berfirman ‘Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya bershalawat atas Nabi, Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah atas Nabi!’ Ini perintah dari Allah langsung loh.” Jamaah mengangguk-angguk setuju dengan apa yang dikatakan Uwais.

“Ya, tapi itu hanya dengan shalawat Ibrahimiyah yang diajarkan Rasul saw. Sedangkan shalawat lain seperti Shalawat Nariyah atau Badriyah atau apalagilah namanya, itu tidak pernah diajarkan Rasul! Ustadz sudah mengajarkan Bid’ah. Ingat ustadz, semua Bid’ah itu sesat!” Pemuda itu menggebu-gebu.

Uwais mengangguk. “Kau sudah menikah?” Uwais malah balik bertanya pada pemuda itu.

“Maksud Ustadz? Kok malah bertanya seperti itu?” Pemuda itu kebingungan.

“Jawablah dahulu, nanti saya jelaskan.” Pinta Uwais.

“Sudah.” Jawab pemuda itu.

“Lalu, kau memanggilnya apa?” Uwais bertanya lagi. Pemuda itu mengerutkan kening dalam-dalam. “Jawablah, maka kau akan mengerti.” Suruh Uwais. Jamaah yang lain juga mendesaknya menjawabnya. Majelis ta’lim pun jadi semakin tegang.

“Be..Bebi.” Seluruh jamaah tertawa mendengar jawaban pemuda itu. Mungkin maksudnya Baby, panggilan sayang untuk seseorang, tapi pemuda yang logatnya sangat Sunda itu menyebutnya Baby dengan sangat lucu. Muka pemuda itu merah menahan malu.

“Lalu, kalau kau panggil istrimu dengan sebutan ‘bidadariku’ atau ‘rembulanku’, apakah berdosa?” tanya Uwais.

“Ya.. tentu saja tidak! Itu adalah hakku. Itu kan ungkapan.. sayang..” Muka pemuda itu makin merah, jamaah yang lain malah makin menggodannya dengan menyurakinya.

“Begitu pula pujian kita untuk Rasulullah saw. Bukankah beliau yang lebih patut kita cintai lebih daripada cinta kita pada istri kita? Lalu apakah berdosa kita menyanjungnya sebagai rembulan atau memuji akhlaknya yang agung dalam syair, atau menceritakan mukjizatnya dalam kata yang indah sebagai bentuk cinta kita pada rasul saw? Apakah itu berdosa?” Tanya Uwais.

Pemuda itu menunduk, sepertinya kehabisan dalil. Tapi teman di sebelahnya, yang ternyata komplotannya tak terima, ia melempar telur yang baru saja dibelinya di pasar karena disuruh istrinya, tepat ke arah Uwais. Jamaah lain tak terima dengan itu, hampir saja terjadi adu jotos. Untung saja panitia pelaksana bisa melerainya sehingga tak terjadi hal yang tak diinginkan.

“Tapi yang jelas,” Uwais melanjutkan jawaban atas pertanyaan sang moderator. “Kita harus tahu masyarakat seperti apa yang akan kita selami. Jangan kita sama ratakan semua masyarakat. Kadang ada masyarakat intelek yang harus kita buat tertarik dengan logika, ada juga masyarakat yang tak bisa berbicara selain bahasa daerah mereka. Untuk yang satu ini, kita harus bisa tahu dan paham bahasa dan budaya mereka.”  Uwais berhenti sejenak, melihat lulusan pesantren yang sangat berambisi seperti ini di hadapannya membuatnya rindu masa-masa belajar.

“Dan yang terakhir,” Uwais mengakhiri pembicaraannya, “Ingatlah, ilmu yang kita miliki kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Apakah kita amalkan dengan baik atau malah kita sembunyikan? Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Semoga Adik-adik semua kelak menjadi pelita-pelita yang menyinari negeri kita ini.”

Harapan Uwais diamini semua alumni. Tepuk tangan yang meriah mengakhiri acara temu alumni kali ini. Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil, Aku sangat bersyukur bisa datang kesini. Aku juga senang bisa melihat Uwais kembali, walau kali ini hanya lewat layar itu. Kuharap, ia masih ingat denganku, temannya saat masih suka berbuat usil dahulu.

Aku merapikan cadar-ku. Ya, sejak lulus dari pesantren ini setahun silam,  aku sudah bertekad untuk menutup seluruh badanku, tanpa terkecuali. Ibu dan ayah bahkan aku juga sempat khawatir, jika aku memakai cadar yang menutupi seluruh tubuhku seperti ini, apakah akan ada lelaki yang melirik padaku? Bahkan saudara-saudaraku pun kini agak menjaga jarak dariku, mereka bilang aku macam hantu atau teroris.

Tapi, nasihat Ustadzah Hanina padaku saat malam kelulusanku yang membuatku membulatkan tekad dan tak mempedulikan omongan orang lain. “Naqia, Aku ingin berpesan padamu satu hal. Kau pernah bertanya padaku kan apakah cadar itu wajib?” Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ustadzah Hanina. Waktu pertama aku melihat Ustadzah Hanina memakai cadar, aku menanyakannya, mengapa ia memakai cadar sedangkan ustadzah lainnya tidak, apakah cadar itu wajib? Begitulah tanyaku waktu itu dan Ustadzah hanya tersenyum sambil berkata, ‘Nanti akan Aku jelaskan jika waktunya sudah tepat’.

“Aku kira sekaranglah waktu yang paling tepat untuk menjelaskannya. Kau sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri. Seandainya waktu itu Aku mengatakan wajib dan menyuruhmu memakainya, Aku tak yakin kau masih bertahan hingga saat ini.” Ustadzah Hanina mengambil nafas dalam-dalam. Aku mendengarnya dengan serius, aku memang sangat ingin tahu tentang ini.

“Ulama berbeda pendapat tentang ini.  Kau pun sudah mempelajarinya kan?” Aku mengangguk. Ya,aku tahu bahwa sebagian ulama ada yang mengatakan aurat wanita adalah semua anggota tubuh tanpa terkecuali, ada juga yang mengatakan kecuali yang biasa dilihat yaitu wajah dan telapak tangan. Aku sudah paham betul tentang ini. “Kali ini Aku tak akan mendebatkan masalah itu. Ini adalah tentang pendapatku pribadi.” Ustadzah memulai penjelasannya.

“Menurutku, cadar bukan sekedar kewajiban, tapi ia adalah kebutuhan. Dengan menutupi seluruh tubuh ini, Aku merasa sangat tenang dan damai. Aku juga ingin menjadi salah satu prajurit Sayyidah Fatimah di akhirat kelak.” Aku mengerutkan kening mendengar kalimat terakhir ustadzah hanina.

“Maksud Ustadzah?” Tanyaku.

Ustadzah Hanina tersenyum menanggapinya, “Nanti di akhirat kelak, salah satu wanita yang melewati shiratal mustaqim dengan lancar adalah Sayyidah Fatimah dan prajuritnya. Tahukah kau siapa prajuritnya itu?” Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ustadzah Hanina. “Mereka adalah wanita-wanita yang menjaga syariat dan berpakaian sama dengan Sayyidah Fatimah. Merekalah yang diriwayatkan oleh para sahabat bahwa mereka tak bisa dibedakan mana bagian depan atau belakang mereka.”

Ustadzah Hanina menangis, “Apalah arti amalku yang sedikit ini? Semoga dengan memakai cadar ini aku diakui sebagai umat Rasulullah saw. Ya Rasul, hanya ini yang mampu kulakukan. Terimalah aku sebagai umatmu.”

“Aamiin.” Aku mengamininya sambil berderai air mata. Sejak saat itulah cadar menjadi pilihanku. Aku ingin seperti Ustadzah Hanina.

Aku menunggu semua keluar ruangan. Aku tak suka berdesak-desakkan.

“Qia, gak mau ikut ke Pesantren dulu? Kita mau nostalgia nih.” Ajak Sarah, teman seangkatanku.

Aku menggeleng, “Tidak, syukron. Ana harus segera pulang, kembaran  Ana pulang hari ini.” Jawabku.  Memang, siang ini kembaranku, Zahira akan kembali ke rumah setelah bertahun-tahun di negeri Yaman. Sama seperti Uwais, adik kembarku juga mendapat beasiswa di sana,di Fakultas Tarbiyah. Adik kembarku memang lebih pintar dan dewasa dariku. Dia juga yang lebih dahulu pesantren di sini dan memakai cadar. Itu sebabnya meski aku kakaknya karena lahir lima menit lebih awal, tapi Zahira adalah kakak kelasku di Pesantren ini. Semua juga mengira dialah yang Kakakku dan aku Adiknya. Ya, tak apalah, aku senang saja disebut sebagai adiknya, berarti aku awet muda kan?

“Ohh.. titip salam buat Kak Zahira ya! Kami duluan, Assalamu’alaikum!” Ucap Sarah.

“Wa’alaikumussalam.” Aku menjawab salamnya. Sarah pun pergi bersama kawan yang lain setelah kami bersalaman.

Setelah semua keluar ruangan, aku pun segera keluar ruangan. Aku harus melewati gang yang sempit untuk sampai ke terminal Bus. Hari ini Ayahku tak bisa menjemput karena harus menunggu Zahira di bandara, jadi aku harus pulang naik bus. Di tengah gang sempit yang hanya cukup untuk dua orang itu, seseorang berdehem dari belakangku. Kontan saja aku melihat ke belakang karena kaget, ternyata jarak selangkah dariku ada Uwais! Jantungku berdegup kencang, apa yang harus kulakukan, apa ia berdehem agar aku berjalan lebih cepat atau? Akhirnya aku hanya terdiam.

“Maaf, boleh saya lebih dahulu? Tak elok rasanya saya berada di belakang akhwat.” Katanya sopan.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya mengangguk. Ia pun berjalan melewatiku begitu  saja. Ah, tak tahukah dia bahwa yang dilewatinya adalah sahabat karibnya selama SMP? Sahabat yang membantunya menjaili guru agama kami dengan memberikan katak kecil di tempat kapur? Atau membelanya ketika ia membuat teman perempuan sekelas kami menangis karena kecoa yang kami tangkap dengan mengatakan bahwa kami hanya berusaha membuang kecoa itu? Atau yang sama-sama dijemur di bawah terik matahari karena tak ikut upacara bendera dan malah membuat seluruh peserta upacara tertawa melihat celana sang pembawa bendera yang kami bolongi?

Uwais dan Aku tak akan pernah menyangka kami akan seperti ini. Ia tumbuh dengan pesat, sedangkan aku sama sekali tak jauh beda. Selain cadar yang kukenakan, tak ada yang berubah dariku. Aku masih Naqia yang bodoh. Aku berandai-andai, sekiranya aku tak mengenakan cadar ini, mungkinkah Uwais tadi mengenaliku dan menyapaku? Aku menggeleng. Inilah pilihanku dan Aku tak akan pernah melepasnya sepanjang hidupku!

Di rumah, ternyata Zahira sudah sampai. Aku segera memeluknya haru. Aku sungguh merindukannya. “Kok gak pernah kirim kabar? Kangen tau!” Aku mencubit pipinya  yang merah merona itu.

“Ira takut gak fokus belajar, Kak. Jadi Ira gak pernah kirim surat atau baca surat dari rumah. Surat-surat yang kakak kirim baru saja Ira baca di pesawat. Ayo kakak ngaku, siapa sih pangeran yang kakak kagumi itu?” Zahira menggodaku di depan kedua orangtua kami. Aku jadi salah tingkah, kututup mulutnya.

“Ssst.. nanti Ayah dan Ibu mau tahu lagi.” Kataku.

“Ayo ngomongin apa sampai Ayah dan Ibu gak boleh tahu?” Ibu memeluk kami dari belakang.

“Ahh, tidak.. Ra, ke kamar yuk! Pasti capek.” Aku menggaet tangan Zahira. Dasar Zahira, kalau Ayah dan Ibu tahu, bisa panjang urusannya!

Zahira terus mendesakku untuk bercerita tentang seseorang yang kukagumi. Aku hanya tersenyum, malu untuk mengatakan bahwa aku mengagumi Uwais yang dulu selalu kuejek si kecil karena ukuran tubuhnya yang kecil bila dibandingkan teman laki-lakinya. Namun sekarang ia bahkan terlihat sangat gagah dan.. cukup tampan.

“Dia kuliah  di Hadramaut juga, ya?” Zahira bertanya sambil merebahkan tubuhnya ke kasur. Aku mengangguk malu-malu. “Ustman?” Zahira menyebutkan nama lelaki yang juga mendapat beasiswa ke Hadramaut. Aku menggeleng.

“Ali?” tebaknya lagi. Kujawab lagi dengan menggeleng.

“Hmmm...” Zahira berpikir keras. Aku ikut tiduran.

“Sudahlah, ini tak penting kok. Tidur saja sana, kau pasti lelah sekali.” Kataku. Zahira tak merespon. “Ra, tadi orang itu datang ke acara temu alumni. Dia... sangat berwibawa. Aku sangat ingin kelak suamiku seperti itu..” Aku mengeluarkan isi hatiku. Tapi aneh, kali ini Zahira hanya diam saja, aku bangun dan melihat Zahira, ternyata dia sudah tidur! Ya Allah, berarti tadi aku berbicara sendiri? Aku tersenyum malu-malu.

Ah, biarlah hanya Allah yang tahu rahasia hatiku.

Minggu selanjutnya keluargaku dikagetkan dengan kedatangan seorang ulama besar kota kami. Dia memiliki majelis ta’lim yang cukup besar. Bahkan akhir-akhir ini sering terlihat di televisi sebagai penceramah. Awalnya kukira mereka hanya ingin bertamu seperti kebanyakan ulama yang mampir ke rumahku. Ayahku memang cukup terkenal sebagai pengusaha baju muslim yang berkualitas, banyak ulama yang menyukai pakaian Ayah. Tapi ketika aku diminta untuk ikut melayani tamu, hatiku sedikit berdebar. Untuk apa?

“Qia, duduklah dahulu disini.” Ayah memintaku duduk di sebelahnya. Aku menurut saja, kutundukkan pandanganku walaupun cadar sudah menutupi wajahku. “Ini Kiayi Naufal, kau kenal kan?” Tanya Ayah.

Aku mengangguk malu. “Tentu saja aku tahu, Ayah. Aku sering melihatnya di televisi.” Jawabku. Kiayi Naufal dan pemuda di sebelahnya tersenyum.

“Baguslah kalau begitu. Kiayi Naufal ingin memintamu menjadi menantunya.” Ucapan Ayah membuat dadaku berdegup kencang. Bagaimana mungkin? “Beliau mengagumi tulisan-tulisanmu di koran nasional.” Sambung Ayah. Aku memang senang menulis artikel untuk salah satu surat kabar nasional sehingga akhirnya aku direkrut menjadi pengisi salah satu kolom di situ.

“Kalau begitu, bisakah kau buka cadarmu agar anakku bisa melihatmu dan kau pun melihatnya?” Tanya Kiayi Naufal.

Aku mengangkat wajahku perlahan. Kulihat pemuda di depanku, gagah dan berwibawa. Kudengar ia lulusan pesantren yang kemudian kuliah di Jakarta. Dia sudah menorehkan beberapa prestasi yang mengagumkan sehingga dinobatkan sebagai pemuda Inspirator Indonesia. Aku menatap Ayahku ragu, Ayah hanya mengangguk tanda setuju. Kubuka cadarku, dan aku menatap pemuda itu sekali lagi, ia tersenyum padaku.

“Bagaimana Naqia? Apa pendapatmu tentang anakku, Kamal?” Tanya Kiayi Naufal. Aku hanya menunduk, malu sekali rasanya untuk mengatakan sesuatu.

“Wanita pasti malu jika ditanyakan hal semacam itu. Diamnya seorang anak gadis adalah setuju, bukankah begitu?” Ayah membuatku semakin malu. “Nak Kamal sendiri bagaimana?” Ayah balik bertanya pada Kamal.

“Aku.. setuju.” Ucapan Kamal membuat jantungku berdebar kian hebat. Anak seorang kiayi besar menyukaiku?

Kedua orang tua saling tersenyum, “Kalau begitu minggu depan aku akan datang bersama keluarga besar untuk mengkhitbah Naqia secara resmi.” Kiayi Naufal mengakhiri pertemuan itu.

Aku tak bisa tidur semalaman. Apakah benar Kamal itu jodohku? Aku tenggelam dalam sujud shalat malamku. Namun tiba-tiba seseorang membangunkanku, “Istriku, bangunlah..” kata suara itu. Mataku tak bisa terbuka padahal aku ingin melihat siapa yang membangunkanku itu.

“Istriku, ayo bangun!” Suaranya lembut penuh wibawa. Aku kenal suara ini. Ini suara orang yang berbicara di acara temu alumni. Ini suara Uwais! Kenapa ia memanggil aku istrinya?

“Istriku, Ayolah Bangun!” suara itu muncul lagi. Tapi sekuat apapun aku ingin membuka mata, tetap saja tak bisa. Hingga akhirnya kugunakan kedua tanganku untuk membukanya sekuat tenaga dan..

“IRA!” Aku kaget melihat Zahira di hadapanku sedang mengguncang-guncang badanku.

“Iya, Kau kira siapa? Kamal? Kalau begitu ayolah bangun istriku..” Zahira meledek sambil mengedipkan matanya. Ternyata aku tadi hanya mimpi. Tapi, mengapa suara itu mirip.. suara Uwais?

Keluarga besar Kiayi Naufal benar-benar datang pada hari yang dijanjikan. Kami pun menyambutnya dengan hangat walaupun masih ada sedikit ganjalan di hatiku. Tapi aku menangkisnya, bukankah tak ada mudharatnya aku menerima Kamal sebagai suamiku?

“Ohya bolehkah aku minta satu hal pada Naqia?” Tanya Kamal di tengah perbincangan kami.
Aku mengerutkan kening, “Apa itu, Kak?” tanyaku.

“Jika kelak kau sudah menjadi istriku, maukah kau untuk melepas cadarmu? Aku tak ingin istriku bercadar, cukup berjilbab saja.” Kata-kata Kamal membuatku terhenyak. Apa katanya? Melepas cadar ini?! Susah payah aku berusaha membuat diriku sendiri percaya diri dengan cadar dan mengatakan bahwa cadar tak menghalangi jodoh seseorang, tapi kini calon suamiku ingin aku melepasnya?

Haruskah aku menurutinya? Bukankah syurga seorang istri ada pada suaminya? Atau aku menolaknya dan kesempatan untuk menjadi menantu seorang pemuda luar biasa ini lewat begitu saja? Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Jika aku tak mau?” Pertanyaanku membuat kedua belah pihak keluarga tegang. Padahal tadinya sangat cair.

“Aku tak mau beristrikan wanita bercadar.” Jawab Kamal. Aku mengerti maksudnya.

“Kalau begitu kenapa tak bilang dari awal pertemuan kita?” Aku sedikit marah. Kalau tahu begini aku tak perlu memperlihatkan wajahku padanya!

“Karena kupikir kau akan mau jika kuminta kau buka cadarmu untuk menjadi istriku.” Kamal menjawab sedikit sombong.

“Kalau begitu, maaf. Aku tak akan pernah melepas cadarku.” Kupakai kembali cadar yang kutanggalkan.

Pertemuan hari itu membuatku sakit hati. Bagaimana bisa Kamal mempermainkanku seperti ini? Meski Kiayi naufal sudah meminta maaf dan Ayah sudah memaafkan, tapi sakit hatiku masih membuatku menangis di dalam kamar sendirian.

Apakah cadar ini penghalang jodohku?

Ayah dan Ibu berusaha menghiburku begitupula Zahira, mereka bilang lelaki tak hanya Kamal, masih banyak lelaki lain di dunia ini. Aku tahu, aku sangat faham itu. Yang aku tak terima adalah, mengapa Kamal tega mempermainkan hatiku? Mulai saat itu, tiap kali Ayahku menyinggung tentang pernikahan, aku tak menggubrisnya, aku masih trauma dengan lelaki. Ah, mungkinkah Uwais juga seperti Kamal? Hei, kenapa aku malah memikirkan orang itu?

Sebulan lamanya aku menyimpan sakit hati ini, kutolak segala macam orang yang datang mengkhitbahku. Mereka semua sama, tak mau memiliki istri bercadar! Memang apa salahnya dengan cadar ini? Bukankah ini semakin membuatku istimewa? Dasar lelaki tak tahu selera!

“Nak, ada seseorang yang ingin melihatmu.” Kata Ibu setelah masuk ke kamarku dan duduk di samping tempat tidurku.

“Aku tak mau, Bu. Tuh, suruh  Zahira saja yang menikah duluan.”   Jawabku singkat. Ibu hanya mengambil nafas dalam-dalam.

“Memang ada dua pemuda yang datang ke sini untuk melihatmu dan Zahira.” Kata Ibu. “Zahira sudah setuju, tinggal dirimu, Nak.” Lanjutnya.

“Kalau begitu, pinta Zahira untuk memutuskannya. Terserah pemuda itu mau atau tidak, tapi aku tak mau memperlihatkan wajahku padanya. Dan katakan pada pemuda itu aku tak akan melepas cadarku hanya untuk menikahinya!” aku berbicara panjang lebar.

“Kenapa kau tak mengatakannya sendiri?” Tanya Ibu.

“Aku masih sakit hati, Bu. Kalaupun pemuda itu tak mau, terserah!” aku kembali menenggelamkan kepalaku ke bantal. Ibu hanya menggeleng saja melihatku lalu pergi meninggalkanku sendiri.

Malamnya, Zahira masuk ke kamarku dengan sumringah. Wajahnya ceria sekali.
“Kak, kita akan menikah di waktu yang sama!” Katanya.

Aku menanggapinya dingin, “Jadi pemuda itu mau menikah denganku?” Zahira mengangguk. “Memangnya siapa dia?” Aku jadi penasaran. Mengapa dia mau menikah denganku meskipun tidak melihat wajahku?

“Kau pasti menyesal tak melihatnya tadi.Uwais datang melamarku!” Ucapan Zahira membuatku kaget. Uwais? Aku tak mendengar perkataan Zahira lagi, entah mengapa hatiku rasanya sakit sekali. Uwais akan menikahi Zahira? Ya Allah, mengapa harus Zahira? Air mataku turun tanpa kupinta. Zahira yang melihatku menangis menjadi heran.

“Kak, temannya Uwais juga hebat kok. Gak kalah sama Uwais, tenang saja.” Katanya menghibur. Aku menelan ludah. Jadi jodohku adalah temannya Uwais?

“Siapa?”Tanyaku.

“Siapa apanya  Kak?” Zahira balik bertanya.

“Nama teman Uwais?”

“Hamad. Kakak ternyata penasaran juga ya! Makannya jangan sok deh, tadi pagi aja disuruh liat gak mau. Tapi kakak kan udah tahu Uwais, jadi tak apalah. Aku tidur dulu ya Kak, sudah malam.” Zahira meninggalkanku sendiri.

“Ohya Kak, akad nikah akan diselenggarakan minggu depan, sekalian acara khataman Al-qur’an di majelis Uwais.” Zahira menambahkan saat akan keluar kamar.
Aku tak percaya ini. Aku akan menikahi Hamad, yang entah bagaimana orangnya, sedangkan adikku Zahira menikahi orang yang sangat kukagumi? Aku mengelus dadaku. Inilah yang namanya jodoh, lagipula Uwais memang lebih cocok dengan Zahira, sama-sama pintar dan dewasa. Aku harus menerima kenyataan ini.

Hari berganti hari, akhirnya acara akad nikah sederhana kami akan dimulai juga. Kami tidak disatukan di depan penghulu, hanya Uwais dan Hamad yang mengucapkan akad nikah di depan penghulu,sedangkan aku dan Zahira menunggu suami kami di kamar masing-masing. Rencananya  resepsi akan kami laksanakan esok hari, jadi hari ini hanya akad saja.

Hatiku berdebar tak keruan. Seperti apa Hamad kelak, apakah ia segagah Uwais? Apakah ia memiliki wibawa seperti Uwais? Atau sepintar Uwais? Aku menggeleng! Mana mungkin aku membandingkan suamiku dengan lelaki lain, itu tak patut. Hamad, pasti yang terbaik untukku. Samar-samar kudengar dari speaker yang terpasang di depan rumah kami, seseorang melafalkan akad nikah,

“Zawajtuka wa nakahtuka bi bintiy, Naqia Nabihah bi mahrin khomsi miah rubiah” Itu pasti suara Ayahku. Memang tak jelas sih suaranya, tapi ini kan lafadz yang diucapkan wali, jadi ini pasti ayahku.

“Qobiltu nikahaha bi mahrin madzkur.” Suara itu tegas tanpa terputus. Akad itu diulang sebanyak 3 kali untuk memastikan bahwa akad ini benar-benar sah. Begitupun yang dilakukan pada Zahira. Aku menangis, sah sudah aku menjadi istri Hamad. Aku berusaha memasang wajah ceria untuk meyambut suamiku. Aku akan berusaha menjadi istri terbaik untuknya.

Aku mendengar keramaian dari luar, ah pasti Hamad dan Uwais sudah datang. Aku bersiap, kurapikan pakaian dan dandananku sekali lagi, kebaya putih yang kukenakan membuatku malu sendiri, aku tak pernah merasa secantik ini.

Tok..tok..tok.. seseorang mengetuk pintu. Itu pasti Hamad.

“Masuklah.” Kataku. Pintu itu pun terbuka, dan betapa kagetnya aku, yang ada dihadapanku adalah Uwais!

“U..Uwais???” Aku menutup wajahku sekenanya. “Ka..Kau salah kamar, ini kamarku, Naqia. Kamar Zahira di sebrang sana, bukankah ada namanya di depan kamar?” Kataku menjelaskan. Kata Ibu dia akan menuliskan nama pasangan di depan kamar agar tak tertukar.

“Benarkah? Maaf kalau begitu.” Uwais kembali keluar. Hatiku berdegup kencang. Kenapa bisa begini? Maafkan aku, Hamad, malah Uwais yang pertama kali melihatku tanpa jilbab. Aku terduduk lemas. Seseorang mengetuk pintu lagi, kupersilahkan ia masuk.

“Maaf, tapi memang inilah kamarku.” Uwais kembali masuk. Aku terperanjat.

“A..Apa maksudmu?” Tanyaku.

“Nih lihat!” Uwais memperlihatkan karton bertuliskan Uwais dan Naqia di situ. “Ini nama kita, kan? Lagipula tadi aku memang menikahi wanita bernama Naqia Nabihah, kok!” Kata Uwais.

Aku tertegun, Uwais menikahiku? “Tunggu, tunggu. Tapi kata Zahira kau datang melamarnya.” Aku masih tak mengerti.

“Ya, aku memang datang melamarnya, tapi bukan untukku, untuk temanku, Hamad.”Jelasnya. Aku masih tak percaya, benarkah?

“Ini kartu nikah kita kalau kau tak percaya.” Kata Uwais memperlihatkan kartu nikah kami. Ya, di situ memang tertulis dengan jelas bahwa aku istrinya Uwais. “Kau pasti melamun waktu Zahira bercerita ya? Qia... Qia... Kau masih belum berubah ya!” Uwais mencubit pipiku. Aku tersenyum malu.

“Nah, mari kita ambil wudhu dan shalat!” Ajaknya. “Ini sebagai rasa syukur. Kau harus bersyukur punya suami sepertiku, kau senang kan menjadi istriku?” Katanya menggoda.

“Iya, iya. Tapi apakah kau juga senang?” tanyaku penasaran.

“Gak seneng sih.” Jawabannya membuatku kecewa. “Tapi senenggggggggggg banget.” Ucapan Uwais membuatku tersenyum malu –malu.

Uwais, ternyata nama ini yang tertulis untukku...
260714
KEY




Rabu, 02 September 2015

Untuk Suamiku Tersayang

Sayang,
aku tak tahu kamu siapa,
mungkin kamu orang yang belum pernah kusapa
atau mungkin yang dekat sedepa

Sayang,
aku tak tahu kamu seperti apa
apakah tinggi macam jerapah
atau biasa-biasa saja

Sayang,
aku tak tahu apa pekerjaanmu
mungkin direktur
atau pegawai biasa
atau pedagang
atau tukang mesin
atau pengusaha
atau guru
atau dokter
atau lelaki saja
atau sedang mencari kerja

Sayang,
kamu punya seribu kemungkinan untukku
bahkan mungkin lebih,

tapi aku punya satu kepastian untukmu,
bagaimanapun bentukmu, sayang
siapapun kamu, sayang
apapun pekerjaanmu, sayang
aku selalu menunggumu...

:)