Ya, Aku SANTRI!
Entah karena gengsi diri atau memang cibiran halus dari
tatapan mereka, tiap kali aku ditanya,
“Lagi sibuk apa?” maka aku akan tersenyum malu-malu sambil menjawab
pelan,
“Belajar.” Kuharap jawabanku ini cukup, tapi ternyata tidak,
mereka menuntut lebih.
“Oh, kuliah ya? Dimana?” aku menarik nafas panjang. Untuk
mengucap ‘tidak, aku pesantren’ rasanya lidahku kelu sekali, maka yang
keluar adalah..
“I..iya. di IPB.” kuharap mereka tak bertanya lagi, aku tak mau berbohong lagi, ya meskipun
benar bahwa aku pernah kuliah. Meski hanya dua tahun.
“Semester berapa?”
“Kapan lulus?”
“Mau kerja dimana?
HUWAAAAA!!!! Betapa tersiksanya aku dengan
pertanyaan-pertanyaan ini. Aku pun terus berbohong. Ternyata berbohong itu
tidak enak.
Maka aku seringkali menghindari mereka. Aku malu entah
karena apa. Apakah karena teman-temanku dengan gagahnya memamerkan kesuksesan
mereka dengan baju wisuda di depan gedung kampus mereka atau karena satu
persatu mereka bercerita tentang bisnis mereka yang lancar? Ah entahlah,
yang jelas aku merasa kecil sekali di
hadapan mereka.
Itu perasaanku selama setahun aku pesantren. Walaupun
membelokkan jalan ke pesantren adalah murni keputusanku sendiri, tapi tetap
saja aku tak betah di awal-awal. Kau tahu, akulah santri paling tua di
pondokku. Bahkan aku lebih tua dari ustadzahku sendiri. Haha, lucu memang jika aku menengok perjalanan masa laluku. Aku
sempat menangis karena tidak betah di pesantren bahkan merengek pulang saat
ibuku datang ke pondokku. Beruntung aku punya kakak yang luar biasa dan ibu
yang visioner, saat itu ibuku berkata,
“Mil, mamah tidak melarangmu pulang. Kalau kau mau ikut
dengan mamah, ayo. Tapi kamu tidak akan mendapat apa-apa. Jika kamu menyerah
sekarang, kamu hanya akan menambah kumpulan orang gagal. Tapi kalau kamu
bersabar, kamu akan mendapat buah yang manis. Bersabarlah, tak selamanya kamu
di pesantren.”
Maka esoknya akupun kembali ke pondokku dijemput kakak yang
baru saja menikah. Aku memutuskan bersabar. Tapi tetap saja aku malu sebagai santri. Terkadang
aku menyesali keputusanku memilih pesantren. Aku merutuki diri, kenapa aku tak
menyelesaikan kuliahku saja?? Kenapa aku memilih pesantren dengan tergesa?
Tapi kini, aku baru tersadar. Betapa beruntungnya aku
menjadi santri!! Kau tahu kenapa? Baiklah kawan akan kuberitahu.
SATU. Aku menjadi orang yang TAHU
Semenjak aku pesantren, banyak hal yang aku baru tahu. aku
banyak berkata “Oooo...” di sini. Ooo.. ternyata shalat kayak gini, ooo...
ternyata puasa begitu. Ooo.. ternyata haji gini. Dan banyak lagi ooo lainnya.
Aku bersyukur mengetahuinya meski rasanya terlambat sekali karena aku sudah
berkepala dua. Aku jadi menyesal, kenapa tak kupilih pesantren sedari dulu??
Kau tahu, setiap aku bertemu orang yang shalat atau wudhu
asal-asalan atau ngaji dengan terbata, selain aku merasa prihatin, aku sangat
bersyukur aku bisa melakukan semuanya dengan ilmu yang kudapat.
DUA. Dijanjiin syurga
oleh Allah.
Allah sudah berjanji dalam hadits yang disebutkan Rasul saw,
“Siapa yang berjalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju
syurga.” Yang pasti ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama, bukan? ^_^
TIGA. Dikehendaki
kebaikan oleh Allah.
Yang ini juga dari hadist Rasul saw,”Siapa yang dikehendaki
kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya faham dalam agama.” Nah, kalau
Allah udah ngasih kebaikan, gak bakalan deh rugi di dunia atau akhirat.
EMPAT. Perubahan
Banyak yang berubah sejak aku pesantren. Aku yang asalnya
baik jadi tambah baik, hahah. Bercanda.
Aku menjadi sangattttt malu kalau berhadapan dengan lelaki,
bahkan mendengar suaranya di telepon saja sudah ngerasa sangat berdosa. Hahah,
memang terasa berlebihan ya? Tapi itulah yang kurasa semenjak aku pesantren.
Aku menutup seluruh tubuhku. Ya,sekarang aku bercadar. Dan
aku merasa lebih aman. Tidak sedikit yang mengejekku, bahkan keponakanku
sendiri mengatakan aku penjahat. Tapi kuanggap itu sebagai candaan saja. Toh
ini yang dicontohkan oleh para salaf dahulu. Lagipula Islam memang berawal
sebagai agama yang asing dan juga akan
menjadi asing di akhir zaman seperti ini.
Aku juga mulai bisa mengontrol perkataanku di depan Walid.
Kalau dulu, pendapat yang menurutku benar, maka aku akan mempertahankannya
meski harus berdebat dengan Walid. Kini, ya lumayan lah... J
LIMA. Tenang.
Semenjak aku menjadi santri, tak ada yang ku risaukan lagi.
Rasanya semuanya sudah beres saat
kupasrahkan pada Yang Maha Kuasa.
Dan banyak lagi yang lainnya...
Jadi sekarang kalau kamu tanya apa statusku, aku akan jawab
dengan tegas,
“Aku seorang SANTRI.”