Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Selasa, 02 April 2024

Pesantren (bagian 2)

"Banin, perkenalkan ini santri baru di kelas Shifir. Silahkan ya Akhi perkenalkan dirimu." Ustadz yang tadi memanduku itu melirik ke arahku. Aku paham bahwa aku diminta untuk perkenalan, tapi sok tahu benar ustadz ini.

Aku tersenyum sinis pada ustadz, "Terima kasih ustadz, tapi maaf nama saya Arfi, bukan Akhi." Sengaja kukeraskan suaraku agar semua santri kelas ini tahu, Ustadz yang mereka hormati itu tidak punya adab sama sekali. Memanggil orang bukan dengan namanya.

Seketika semua santri di kelas Shifir tertawa, bahkan ada yang sampai memegang perutnya sangking tak tahan menahan tawanya. Kasihan ustadz itu, katanya santri tak akan berani kurang ajar pada gurunya, ternyata dia sama sekali tak pandai mendidik anak. Yah, pantas saja kejadian seperti itu terjadi. Pesantren katanya agamis, tapi..  aku melirik ustadz, lho? Kok dia ikut tersenyum lebar? Apakah dia senang ditertawakan muridnya sendiri? Benar-benar orang aneh.

"Maaf Ustadz lupa, kamu sama sekali belum pernah mendengar istilah Arab ya Arfi.. Maaf." Sepertinya ustadz menahan tawa sebab dia berhenti sejenak, lalu ia melanjutkan. "Baik, sepenuhnya ini salah Ustadz ya. Silahkan Arfi duduk di meja belakang. Ustadz lain kali akan lebih berhati-hati lagi. Banin, berhenti tertawa. Mari kita mulai belajar."  Seketika tawa itu terhenti, walaupun masih ada yang terkekeh kecil.

Aku duduk di meja yang kosong. Rasa bersalahku membawaku kesini, tempat mengerikan berkedok agama. Dari dulu aku tahu, tempat seperti ini hanya menghasilkan manusia-manusia sok pintar yang menjual agama. Jangan salah paham, aku dari lahir beragama Islam. Tapi ya itu sekedar Islam turunan yang aku tak pernah mau bersentuhan dengannya. Aku tak pernah shalat, puasa, atau lainnya. Apalagi lingkungan rumah dan sekolahku juga sama sekali tak ada aroma agamis sama sekali. Satu-satunya alasan aku kesini bukan untuk mempelajari Islam, tapi karena balas dendam. Ya, aku akan balaskan dendam kawanku, Kamal..

"Fahimtum?" Ustadz bertanya. 

Seketika semua santri menjawab, "Fahimna."

Ah, istilah apalagi sih! Kita kan di Indonesia kenapa harus pakai istilah aneh-aneh. 

"Baiklah kalau begitu hafalkan yang tadi dipelajari. Besok akan ada setoran. Jangan sampai lupa. Ohya, dan kamu, Arfi nanti ke ruang guru ya."

Ternyata sudah selesai saja pelajaran aneh ini. Aku terlalu banyak melamun sampai tidak tahu apa yang dibicarakan ustadz saat pelajaran. Ah, biarlah aku tak peduli. Tujuanku memang bukan belajar. Lebih baik kusiapkan rencana itu..

"Arfi? Apa kau dengar? Jangan lupa nanti ustadz tunggu di ruang guru ya." Ustadz mengulang lagi perintahnya.

"Ah?" Aku baru tersadar sedang diajak bicara oleh ustadz. "Ya, baik ustadz." Jawabku. Ustadz itu keluar dari kelas sambil tersenyum. Mungkin baginya itu senyum yang manis, tapi bagiku itu senyum kemunafikan! Lihat saja, kau pasti akan menyesal telah membuat temanku menderita!

"Setelah ini pelajaran apa, Akhi?" Tanya seseorang saat aku sibuk menulis rencana balas dendamku. Segera kututup bukuku. Hmm, apakah tadi belum cukup jelas? Aku menjawab sambil menoleh ke arah suara di depanku, "Sudah kukatakan, namaku.." Aku menghentikan jawabanku saat kulihat ternyata ia sedang berbicara dengan teman di sampingku. Seketika percakapan mereka terhenti. Aku merasa aneh, mereka menatapku sambil menahan tawa. Eh, tunggu.. jangan-jangan...

"Ahya, Arfi.. kita belum perkenalan. Namaku Salman. Dan ini Rasyid." Rasyid mengangguk tanda kenal. "Dan maaf tadi tidak sempat menjelaskan. Akhi itu artinya saudaraku, itu bahasa Arab. Kami sudah terbiasa memanggil teman dengan awalan akhi, tanda keakraban. Jadi itu bukan memanggil namamu.."

Penjelasan Salman seketika membuat wajahku merah padam sebab malu. Jadi yang mereka tertawakan tadi adalah.... Aku! Duh!

"Tenang saja Arfi, kami juga awalnya tidak biasa. Lama kelamaan kita juga akan paham." Rasyid menambahkan.

Lama? Aku hanya ingin disini sebulan. Ya satu bulan cukup bagiku untuk menghancurkan hidup ustadz palsu itu. 

"Terima kasih." Aku tersenyum kecil untuk menanggapi hiburan dari mereka.

"Matematika! Setelah ini pelajaran Matematika, Rasyid! Ayo kita belajar kalau tak ingin dihukum lagi!" Salman langsung membuka buku matematika sambil komat-kamit. 

Rasyid wajahnya pucat, dan segera kembali ke tempatnya sambil terus berdoa. "Semoga aku tidak ditunjuk..." Itu yang kudengar berulang-ulang saat dia menuju tempatnya.

Setelah ku perhatikan sekeliling, ternyata suasana kelas sungguh mencekam. Semua sibuk menghafal pelajaran sambil keringat dingin membanjiri wajah mereka. Bahkan kulihat ada yang di pojokan kelas, menangis! Ya,dia belajar sambil menangis! Mereka betul-betul serius, seolah ini pelajaran tersulit di dunia. Aku jadi penasaran, matematika di pesantren seperti apa ya?


Senin, 18 Maret 2024

Pesantren (bagian 1)

Seandainya saat itu aku tak terlalu egois. Andai saat itu kau jelaskan semuanya padaku. Andai saat itu mulutku yang berteriak. Andai saat itu kita kembali menjalani hidup seperti biasanya. Andai kau tidak bertemu lelaki sok suci itu. Tentu semua ini tak akan terjadi, teman...

Mataku tak kuasa menahan tangis. Air mataku jatuh ke layar telepon genggam yang tengah menampilkan berita pagi ini:

Seorang Santri Tewas Dirundung Kakak Kelasnya

 Seorang santri di sebuah pondok pesantren berinisial KML ditemukan tewas di kamarnya dalam keadaan babak belur. Belum diketahui penyebab pasti kematian santri tersebut, namun disinyalir hal itu disebabkan oleh pukulan dengan benda berat yang dilakukan kakak kelasnya. 

Kepolisian resort wilayah Kota Malang masih menyelidiki.....

Ah, Kamal!!!

"Kamal!!!" Kuteriakkan namamu, berharap masa dapat kembali pada saat itu, delapan tahun yang lalu...

---

 "Apa kau masih temanku?" Pemuda itu menunduk dalam, tak berani menatapku. 

"...." Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Teman?  Apakah teman adalah tempat mengeluh saja? Kemana dia saat aku terpuruk? Siapa yang dia hampiri saat ia mendapatkan kebahagiaan? Apakah baginya teman adalah seseorang yang bermanfaat untuknya saja?

"Kau.. marah?" Masih suara dari pemuda berkaos hitam. Dia menarik napas dalam-dalam. Ia beranikan diri untuk menatapku. "Aku mengerti perasaanmu. Baiklah anggap aku tak pernah mengatakannya padamu. Kalau begitu, selamat tinggal, temanku.." 

Kamal!!!!!! Kamal!!!!

Aku berteriak. Tapi pemuda berkaos hitam itu tetap berjalan tanpa peduli teriakanku. Ah, tentu saja ia tak bisa mendengarnya, bukan mulutku yang berteriak, tapi hatiku. 

Bayangannya kian lama kian mengecil, lalu menghilang. Senja di kursi taman kota menjadi saksi percakapanku dengan Kamal. Percakapan yang ternyata tak pernah bisa dilanjutkan lagi selamanya. 



Senin, 04 Maret 2024

Syed Muhammad, bintang ke enamku

Tanggal enam belas

Di bulan pertama dari yang dua belas

Wajah mungilmu mengawali hari 

Saat semua terlelap dalam mimpi

Kala gemintang menampakkan diri


Kurasakan perihnya pengorbanan ibu sejati

Ketika kau tak sabar dan menendang tiada henti

Dengan tubuh kecilmu yang keluar bersama tangismu diiringi


Muhammad,

Namamu telah ditetapkan sejak dalam kandungan

Sebab dalam mimpi kau temui aku sebagai harapan

Kau muncul dengan jelas bersama nama persis Sang Nabi impian


Nak, namamu penuh kebanggaan

Sebab itulah nama orang yang paling kucinta tersimpan

Orang mulia sebagai utusan

Yang dengannya seluruh umat manusia terselamatkan

Kau wajib bangga dan senang, Nak..

Namamu sama seperti kekasih Tuhan 


Namamu pula seperti nama orang yang kini dalam hatiku bersemayam

Orang yang kucinta dalam ikatan suci tanpa noda yang terekam

Itulah nama ayahmu, Nak


Bintangku yang ke enam,

Terimakasih telah hadir dan menambahkan sinar di rumahku..