Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Sabtu, 05 Desember 2015

Mati rasa

huaaaaa!!!!!!!!!

Rasanya  aku ingin berteriak sekeras-kerasnya.  Kenapa tanyamu, kawan?
sebab kau tak pernah lagi peduli padaku! Berapa lama aku tak menyapamu dan kau hanya diam saja? Ah, apakah ini inginmu? Aku tak lagi menari di atas keyboard??

Kawan,  aku ingin bersamamu lagi. Tertawa bersama kata, menangis  bersama kalimat, bercanda dengan berbagai rangkaian huruf. Tapi kini, bahkan aku tak bisa merasakan apapun! Bagaimana aku harus membuatmu kembali?

Setidaknya hari  ini aku mampu menangis karenamu. Ya, sebab aku menjadi orang yang ditinggalkan. Olehmu,  oleh  kawan-kawanmu...

Bagaimana menjadi orang yang ditinggalkan, katamu?  Apakah kau meledekku?! Ah, terserahlah aku tak akan marah. Aku  sudah katakan, aku tak bisa merasakan apapun kecuali kesendirian.

Rasanya seperti berada di tempat asing padahal setiap hari di tempat yang sama,
seperti menjadi orang baru, padahal semua mengenalku..
rasanya aku ingin berkata pada semua orang: "Kenapa kalian meninggalkanku?!"

Kawan, kembalilah..
aku tak lagi bisa berjanji, tapi jika kau kembali, aku bisa memberimu senyum di pagi hari...

Sabtu, 28 November 2015

Kakakku, Guru Sejatiku..

Mumpung hari guru, kubahas tentang guru saja, ya? Yah, karena aku yang mengaku guru ini masih sangat jauhhhhhhhhhhhh sekali untuk dibilang guru yang  baik, jadi izinkan aku mengenalkanmu pada guru yang paling berpengaruh dalam hidupku. Guru pertama yang mengubahku 360 derajat.

Siapa? Kau penasaran, kan? Ternyata dia adalah saudaraku sendiri alias kakakku.

Yap! Kakakku nomor enam.

Sebelum ia pesantren, aku sama sekali tidak dekat dengannya. yah, hubungan kakak-adik biasa lah. Tapi semenjak ia lulus pesantren, perhatiannya padaku begitu besar, sampai-sampai ia rela ke Bandung hanya untuk menjemputku ke pesantren. Bayangkan! Menempuh jarak 736 km, dari Pasuruan  ke Bandung menggunakan bus! Walah, butuh dua hari semalam untuk sampai ke rumahku.

Awalnya,  aku ke pesantren hanya untuk sekedar memenuhi ajakan kakak, sekalian liburan Ramadhan. Tapi, akhirnya aku terjerumus juga ke jalan yang benar  (hahah). Aku memutuskan untuk pesantren. sebuah keputusan nekat di tengah studiku yang sedang baik. satu-satunya orang yang terus menyemangatiku (selain orangtua)  adalah kakakku ini. Ia terus memberikan tausyiah dan arahan di tengah ke-ababil-an diriku. heheh.

Entah berapa kali aku merengek ingin pulang, tapi kakakku ini tetap sabar menasehatiku, "jangan pulang, mil." Katanya. Lalu dia menceritakan perjuangan imam syafi'i yang belajar dalam keadaan di bawah bangkunya mangkuk, sebab penyakit ambeiyennya, atau imam terdahulu yang semangat menuntut ilmunya tinggi sampai-sampai memilih membaca kitab seharian di malam pertama pernikahannya!

Berapa kali pula aku menuntut hal-hal yang sepele. Seperti wajib mengunjungiku seminggu sekali lah, atau belikan ini-itu lah, atau yang lainnya dengan tujuan ia bosan dan menyuruhku pulang. Tapi nyatanya ia tetap mempertahankanku. Tetap sabar menghadapiku. Apalagi gelar yang pantas untuknya selain guru sejati?!

Dan yang paling penting, melalui kakakku inilah aku mengenal sang pujaan hati. Yap, ialah jembatan yang menyatukanku dengan si dia.. Hehehe

Mungkin hari guru telah berlalu, tapi bagiku setiap hari pantas untukku mengucapkan ini padamu, kakak sekaligus guruku;

SELAMAT HARI GURU!!

Sebaik-baik balasan untukmu hanyalah Allah yang bisa memberinya...
Jazakumullah khairan katsiran... 😊

Selasa, 17 November 2015

Untuk Adikku Sayang

Salam!
Padahal sekarang aku sedang sibuk bikin soal buat UAS SMP, tapi kok ngeliat kamu, aku tak bisa menahannya! Tangan ini tiba-tiba mendarat lancar di setiap huruf-huruf yang menempel di keyboard, dan akhirnya...ya, kamu jadi pengalih perhatianku! Hmm, tak apalah 5 atau 10 menit kuturuti dulu sebelum ia kesibukan menulis hal-hal serius yang bikin kepala gak berhenti berdenyut itu!

Oke, aku ingin cerita tentang... CINTA!!
Haha, akhir-akhir ini cerewet sekali aku dengan tema ini ya, apakah ini pertanda.....?? (halah, apa sih kok geje banget nih topik!)

Oke,oke tenang dulu. Bukan itu maksudku, kawan. Bukan aku yang jatuh cinta, tapi adikku.. Adikku nomor 11 tengah jatuh cinta.

Aku sangat kaget membaca pesan-pesan di BBM nya, dia benar-benar gombal sampai ngomong 'I love U' segala! Gimana gak marah coba! Aku sebagai kakak yang masih perhatian sangat ingin memukulnya, kok sampai dia bisa menulis itu? Gombal banget!!

Adikku memang ganteng sih kecuali gigi depannya yang belum tumbuh itu, ia cukup sempurna dijadikan gebetan. Tapi tak kusangka, ia memanfaatkan kegantengannya untuk menarik perhatian cewek. Yah, mending kalau cewek itu cantik, kaya, baik.. lha ini? (Heheh, bercanda, kawan! Mau sekaya atau secantik apapun tetap tak boleh merusak adikku!)

Gini nih hasilnya kalau anak dihadapkan dengan lingkungan tidak islami, dan dia tidak cukup bekal untuk menolak lingkungannya. Pasti, lambat laun bakal ikut juga kemana teman-temannya pergi. PASTI!

Gak percaya? Adikku adalah contoh nyata korban lingkungan yang perlu diselamatkan. Padahal kalau kamu mau tahu, adikku nomor 11 ini paling rajin shalat ke  masjid saat shalat! Setiap adzan berkumandang, tanpa perlu disuruh, ia akan langsung menuju masjid sampai -sampai semua tetangga  iri sama Ibuku yang punya anak se-shaleh itu.

Adikku itu kawan,
dulu adalah yang paling rajin membaca al-qur'an
paling rajin membantu ibu
paling senang mencuci piring
paling gampang disuruh orangtua
paling senang kalau belajar agama
cita-citanya menjadi ustadz
lalu menjadi hafidz al-qur'an..
dulu, itu adikku...

Sekarang,
dia tetap adikku,
tapi kuharap ia segera kembali ingat
janjinya untuk menjadi ustadz kelak..

Adikku sayang,
tak usah pedulikan teman kalau mereka mengajak pacaran
atau malam-malam keluyuran
atau menyiksa saat ulang tahun teman
atau mengajak main saat adzan
itu bukan teman tapi syaithan

Adikku sayang,
kembalilah menjadi adikku yang shaleh..


Selasa, 03 November 2015

dia datang padaku

dia datang begitu tiba-tiba
saat pikiranku sama sekali tak menyapa
apakah dia benar jawaban doaku?

dia tersenyum,
menatapku sesekali lalu tertunduk malu
membawa sebuah janji di ujung tahun
apakah dia menepati?

dia begitu istimewa
membuat bibirku sering tersenyum sendiri
padahal lama aku tak begini
apakah benar dia jawabnya?

Allah..
kutunggu jawabmu,
bersamanya..

Kamis, 22 Oktober 2015

Agama bukan pelajaran!

Kawan, aku sungguh sangat heran. Kenapa ya muridku nilainya jelek-jelek? Rasanya aku ingin menangis setiap selesai memeriksa ulangan-ulangan  mereka. T___T
Hasil gambar untuk nilai ulangan jelek
"Udah mil, dibawa enjoy  aja!" Celetuk adikku, "Yang penting kamu sudah mengajar maksimal,  kalau nilai mereka jelek, ya sudah."

Rasanya aku ingin seperti itu, tidak usah peduli nilai berapa murid-muridku  itu. Lha wong yang rugi juga mereka, yang malu ya mereka, dan yang tidak naik kelas pun mereka. Kenapa aku harus ambil pusing? Tugasku hanyalah mengajar. TITIK.

Tapi aku tak bisa, kawan. Aku ingin mereka semua memahami pelajaranku. Bukan, bukan agar nilai mereka sempurna lalu aku dipuji sebagai guru terbaik. Sungguh bukan itu. Tapi aku ingin mereka memahami agama mereka! 

Aku ini mengajar agama, kawan. Aku benar-benar tak mau mereka menganggap ini hanya sekedar pelajaran saja. Aku ingin mereka tahu, inilah  pegangan mereka! Inilah yang harus mereka genggam kuat-kuat agar selamat di dunia maupun akhirat! INI AGAMA MEREKA!!

Dan..bukankah nilai adalah bukti bahwa mereka paham?

Aku yakin bukan mereka yang salah, kawan. 

Akulah yang salah. 

Mengaku mengajar Al-Qur'an, tetapi jarang terdengar dariku bacaan..
Mengajarkan sunah secara sempurna, tapi diri pribadi penuh kekurangan..
Menyuruh mereka bangun malam, tapi suara yang terdengar dariku hanyalah dengkuran..

Allah...

Umur Wanita Haidh, Masa, serta Sifat Haidh

Saya prihatin dengan wanita di zaman ini, sebab sedikit sekali mereka yang peduli pada ilmu yang wajib diketahui wanita, yaitu tentang haidh. Akibatnya ada yang menyangka semua darah yang keluar adalah haidh, atau sembarangan menghukumi istihadhoh. Padahal darah wanita ada hukumnya tersendiri. Untuk itulah, saya paparkan sedikit tentang darah haidh.

Kali ini kita akan mempelajari tentang:
  1. Umur seorang wanita dapat mengalami haidh
  2. Tanda-tanda baligh
  3. Masa terjadinya haidh
  4. Warna darah haidh
  5. Darah yang dilihat  orang hamil
  6. Bersih yang menyelai-nyelai darah haid
(silahkan klik untuk melihat isi bab)

Semoga bermanfaat.. :)

VI. Bersih diantara Darah Haidh

Jika wanita haidh melihat sehari darah lalu sehari bersih, maka tidak ada khilaf bahwa hari dia melihat darah adalah haidh dan ketika bersih wajib untuk untuk mandi suci kemudian shalat dan berpuasa (jika bulan Ramadhan), dan boleh untuk melakukan hubungan suami-istri. Karena secara dzohir dia dihukumi suci dan tidak ada darah.

Tetapi khilaf  terjadi ketika bersih tersebut diantara dua darah haidh, menurut pendapat yang terkuat bahwa masa bersih dianggap juga haidh dengan beberapa syarat:

1.  Gabungan antara hari keluar darah dan hari bersih tidak melebihi lima belas hari. Jika melewati lima belas hari dan darahnya bersambung, yakni darah keluar di hari ke 15 dan16,  maka wanita ini termasuk mustahadhoh, yang haidhnya bercampur dengan sucinya dan dikembalikan kepada salah satu gambaran mustahadhoh yang berjumlah  tujuh.
Tetapi jika darahnya tidak bersambung, maka wanita ini harus menyempurnakan sisa masa sucinya, dan sisanya adalah haidh yang baru.

2. Gabungan dari waktu-waktu keluar darah tidak kurang dari paling sedikitnya haidh yaitu sehari semalam. Jika kurang dari sehari semalam maka ini adalah darah fasad atau istihadhoh.

Agar lebih paham, akan kami berikan contoh:

  • Seorang wanita melihat darah selama tiga hari lalu darahnya terputus. Kemudian dia melihat darah lagi di hari ke sepuluh dan terputus di hari ke sebelas. Maka tiga hari yang pertama dan hari yang kesepuluh adalah haidh tanpa adanya khilaf. Sedangkan bersih diantara dua haidh tersebut menurut perkataan yang terkuat adalah haidh karena memenuhi syarat yaitu darahnya lebih dari  24 jam dalam waktu 15 hari
  • Seorang wanita melihat darah selama enam jam kemudian terputus. Kemudian di hari kelima melihat darah selama lima jam lalu terputus. Maka semua darah itu adalah istihadhoh karena jumlahnya  kurang dari  24 jam
  • Seorang wanita melihat darah selama tujuh hari kemudian terputus. Kemudian darahnya  kembali di hari ke-16 dan ke-17 lalu terputus. Maka darah yang pertama (selama  7 hari) adalah darah haidh, Dan bersih diantara dua haidh adalah suci. Sedangka darah di hari ke-16 dan 17 adalah istihadhoh (dihukumi suci) karena darah tersebut datang setelah 15  hari (paling banyaknya haidh)
  • Seorang wanita melihat darah selama 10 hari lalu terputus. Setelah bersih selama 8 hari, darah datang kembali selama 12 hari lalu terputus. Maka darah awal (10 hari)adalah haidh.Sedangkan darah yang kedua (12 hari setelah suci 8 hari) tidak mungkin menjadikan semuanya haidh. Tetapi wanita ini harus menyempurnakan sucinya. Paling sedikitnya suci adalah 15 hari, sedangkan wanita tersebut baru suci selama 8 hari, maka 7 hari darah dianggap suci, sedangkan sisanya (5 hari) adalah haidh yang baru.
Sumber: Al-Ibanah wal Ifadhoh, Habib Abdurrahman bin Abdullah Assegaf

Senin, 19 Oktober 2015

V. Darah yang Dilihat Orang Hamil

Jika seorang wanita  melihat darah yang cocok untuk dijadikan darah haidh, yaitu darah tersebut mencapai sehari semalam, maka menurut pendapat yang paling kuat dari Imam-Imam dalam madzhab syafi'i adalah bahwa darah tersebut merupakan darah haidh.

Alasannya ialah sebab keumuman dari pengertian darah haidh, seperti dalam firman Allah: (قل هو أذى) dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yang artinya, "Katakanlah bahwa itu adalah kotoran"

Pula dalam hadits Rasulullah saw,"Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam seperti yang diketahui."

IV. Sifat Darah Haidh

Darah haidh memiliki beragam sifat, yaitu:

1.  Berwarna hitam
2.  Berwarna merah
3.  Berwarna merah terang kekuningan
4.  Berwarna kuning
5.  Berwarna keruh,yaitu warna diantara kuning dan putih
6. Terkadang kental
7. Terkadang bau

Jika kita telah mengetahui sifat-sifat tersebut, ketahuilah bahwa pendapat yang kuat dalam madzhab kita, yaitu madzhab syafi'i bahwa warna keruh adalah  haidh, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa wanita di zaman Rasulullah mengutus seseorang pada Sayyidah Aisyah ra.dengan membawa sebuah nampan berisi kapas yang berwarna kuning, lalu Sayyidah Aisyah berkata, "Jangan tergesa-gesa hingga kalian melihat kapas itu seperti kapur putih."

Sumber: Al-Ibanah wal Ifadhoh, Habib Abdurrahman bin Abdullah Assegaf

Minggu, 18 Oktober 2015

III. Masa Haidh

Haidh memiliki tiga jenis  masa:

1.  Masa Paling Sediki

Paling sebentar seorang wanita mengalami haidh ialah sehari semalam. Yaitu 24 jam. Ketentuannya ialah: darah tersebut tampat jelas di dhahir farj. Jadi sekiranya dimasukkan kapas ke dalam farj, maka kapas tersebut akan keluar dalam keadaan basah. 
          
Masa paling sedikit ini memiliki dua gambaran:

a.   Seorang wanita melihat darah secara terus menerus selama 24 jam
b.   Seorang wanita melihat darah secara terpisah. Misal dia  melihat satu jam darah, satu jam bersih. Kemudian jam saat melihat darah itu ketika dihitung berjumlah 24 jam selama tidak lebih dari 15 hari. Maka semua jam (Jam melihat darah maupun jam melihat bersih diantara dua darah) adalah haidh, sebagaimana nanti akan dijelaskan.

2.   Masa Paling Banyak
Paling lama seorang wanita mengalami haidh adalah 15 hari.

3. Umumnya Haidh
Umumnya seorang wanita mengalami haidh selama 6-7 hari.

Adapun dalil dari penentuan masa-masa haidh ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Imam Syafi'i kepada para wanita di zamannya.

Ketika kalian telah mengetahui hal tersebut, maka jika seorang wanita melihat darah kurang dari 24 jam maka disebut sebagai darah fasad atau istihadhoh.
Dan ketika seorang wanita melihat darah setelah masa paling banyaknya haidh (yaitu 15 hari), maka wanita ini dianggap sebagai wanita yang mengalami istihadhoh (istilahnya mustahadhoh) yang masa sucinya bercampur dengan masa haidh. Untuk mustahadhoh, hukumnya harus dikembalikan kepada salah satu dari tujuh gambaran mustahadhoh dalam haidh yang insya Allah akan kami bahas di bab lainnya.

Sumber: Al-Ibanah wal Ifadhoh, Habib Abdurrahman bin Abdullah Assegaf

II. Tanda-tanda Baligh

Yang dimaksud dengan baligh adalah ketika seseorang sudah mencapai umur yang mewajibkannya melakukan perkara-perkara syari'at seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Baligh dapat diketahui dengan beberapa perkara:


  1. Keluarnya darah haidh untuk seorang perempuan yang berumur mulai dari sembilan tahun qamariyah taqribiyah seperti yang telah berlalu di bab Umur seorang wanita dapat mengalami haidh
  2. Keluarnya mani. Hal ini dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan yang berumur mulai dari sembilan tahun qamariyyah taqribiyah menurut Imam Ibn Hajar. Atau sembilan tahun qamariyah tahdidiyah (sembilan tahun tepat) menurut Imam Ramli.
  3. Sempurnanya 15 tahun qamariyah tahdidiyah (15 tahun tepat) jika anak tersebut tidak mengalami perkara pertama maupun kedua.
Sumber: Al-Ibanah wal Ifadhoh, Habib Abdurrahman bin Abdullah Assegaf 

I. Umur seorang wanita dapat mengalami haidh


 Paling sedikitnya umur yang memungkinkan seorang wanita mengalami haidh adalah 9 (SEMBILAN) TAHUN  QAMARIYAH TAQRIBIYAH. Jadi yang dijadikan patokan adalah tahun qamariyah, yaitu tahun yang didasarkan pada peredaran bulan, bukan tahun syamsiah (maka, perlu diperhatikan tanggal lahir anda di tahun qamariyah,  karena hukum islam selalu memakai tahun ini)

Yang dimaksud dengan taqribiyah adalah dianggap juga haidh jika darah keluar sembilan tahun dikurangi masa yang tidak mencukupi paling sedikirnya haidh dan suci, yaitu dibawah 16 hari (sebab paling sedikitnya haidh adalah 1 hari sedangkan paling sedikitnya suci adalah 15 hari). Maka jika masa tersebut mencukupi haidh dan suci, yaitu 16 hari, darah ini bukan haidh melainkan istihadhoh.

Untuk lebih jelasnya, kami berikan beberapa misal:
  • Seorang wanita melihat darah ketika berumur sembilan tahun qamariyah kurang sepuluh hari. Maka darah ini disebut haidh jika memang memenuhi syarat haidh (yang nanti akan disebutkan). Jadi walaupun ia belum genap sembilan tahun, tetap dikatakan darah haidh. Karena sepuluh hari kekurangannya  itu tidak memcukupi paling sedikitnya suci dan haidh. Karena paling sedikitnya haidh adalah satu hari, sedangkan paling sedikitnya suci adalah lima belas hari.
  • Seorang wanita melihat  darah ketika berumur sembilan tahun kurang sebulan. Ia melihat selama lima hari.  Darah ini tidak disebut haidh, karena umurnya tidak mencukupi untuk mengalami haidh. Tetapi darahnya disebut istihadhoh atau darah fasad.
Peringatan:



Tidak ada akhir usia bagi wanita untuk mengalami haidh. Haidh dapat dialami selama seorang wanita masih hidup. Tetapi umumnya seorang wanita mengalami monopause di usia 62 tahun.


Sumber: Al-Ibanah wal Ifadhoh, Habib Abdurrahman bin Abdullah Assegaf

Kau, masih kawanku bukan?


Kau masih kawanku,bukan?
Kawan, bisakah kau memecahkan persoalanku?
Akhir-akhir ini aku benar-benar tidak berselera untuk menulis. Aku muak sekali entah karena apa. Makannya aku jarang menyentuhmu kan? Pokoknya setiap aku melihatmu, aku hanya terdiam saja. Memandang tanpa sebersit ekspresi apapun, bahkan senyum pura-pura pun tidak.




Apakah kau marah padaku, kawan?
Sebab setiap aku melangkah ingin berbaikan denganmu, selalu saja ada yang mengahalangi.



Apakah kau cemburu padaku, kawan?
Sebab aku lebih memilih duduk berlama di depanmu tapi hatiku pergi ke tempat lain?

Apakah kau mengusirku, kawan?
Sebab jariku sama sekali tak lagi seramah dulu.

Kawan,
tapi kuharap kau merindukanku, sebab aku sangat-sangat rindu padamu!

Aku rindu bercerita tentang angin sore hari
yang tetap membelai lembut meski dicaci

Aku rindu pula berbincang tentang pagi hari
ketika kita duduk sambil meminum segelas kopi

Pula rindu menertawakan penduduk suatu negeri
yang  mengganggap hebat seorang pencuri

Ah, kawan
Aku benar rindu!

Maukah kau ganti cembung di wajahmu jadi cekung yang sempurna?
:)

Minggu, 11 Oktober 2015

Wajahmu bukan Sampah!

Wajahmu itu, saudariku..
bukanlah sampah media sosial
yang boleh dilihat secara brutal
oleh orang-orang berotak binal

Wajahmu itu, saudariku..
sungguh bukan pula pameran
yang bangga dilihat orang jutaan
mampu dinikmati beragam jenis ciptaan

Wajahmu itu, saudariku..
adalah wajah yang dicemburui bidadari syurga
sebab ia sering bersujud di malam sepertiga
menangis  sebab takut neraka
tersenyum saat bertemu saudara

Wajahmu itu, saudariku..
benar-benar mahal,
hanya untuk mereka yang halal
bukan mereka yang berandal

Wajahmu itu, saudariku..
jagalah hingga tiba waktunya nanti
jangan biarkan ia basi
sebab telah dinikmati
oleh orang-orang tanpa hati

Wajahmu itu, saudariku..

Jumat, 09 Oktober 2015

Rantai Putus

Hanya ingin membiarkan debu menapak semesta
dan dedaunan menyapa bumi
seperti angin yang berlalu tanpa sapa
seperti kata yang bersembunyi dalam lagu
hampa

Hanya duduk tak berkata
dalam diam sang raja dunia
apakah salah?
atau terpatah?

Hanya bertanya pada besi tua
mengapa ia lama menatapku ragu
apakah geram?
ataukah lelah?

Hanya membiarkan jemari menari
mungkin kaku sebab lama tak berlatih
apakah rindu?
atau paksa?



Rabu, 07 Oktober 2015

Hukum Cairan yang Keluar dari Vagina

Sesuatu yang keluar dari vagina (selanjutnya disebut farj) dan bukan darah disebut "Ruthubathul farj". Pengertiannya adalah cairan putih yang diragukan antara madzi atau keringat. Maka banyak wanita yang bertanya: apakah ia suci atau najis? dan apakah dengan keluarnya cairan tersebut membatalkan wudhu atau tidak?

Maka inilah ringkasan hukum dari cairan tersebut:
  • Jika keluar dari dhohir daripada farj maka itu tidaklah najis dan juga tidak membatalkan wudhu.
  • Jika keluar dari bathin farj maka itu najis dan membatalkan wudhu
  • Jika ragu apakah ia keluar dari dhahir atau bathin farj maka itu tidaklah najis dan tidak pula membatalkan wudhu.
Yang dimaksud dengan dhahir dari farj berbeda diantara seorang perawan dan yang tidak perawan. Bagi perawan, dhahir hanya seukuran yang dibasuh ketika kita mandi wajib atau istinja', tapi bagi yang sudah tidak perawan, dhahir farj adalah yang nampak dari farj ketika dia duduk di antara kedua telapak kakinya. Sedangkan bagian bathin adalah yang tidak dibasuh saat mandi wajib atau istinja' (bagi perawan) atau yang tidak tampak saat ia duduk diantara kedua kakinya (bagi yang tidak perawan).

Dasar hukum ini adalah:

Bahwa madzi itu najis dan membatalkan wudhu (semua ulama sepakat mengenai hal ini), Dan sifat dari madzi adalah bahwa ia keluar dari bathin farj. Maka jika ada ruthubathul farj  keluar dari bathin, ia diserupakan dengan madzi.

Jika keluar dari dhahir, maka itu menyerupai keringat. Hukum dari keringat adalah suci dan tidak membatalkan wudhu.

Dan ketika ia ragu (antara keluar dari dhahir ataukah bathin), maka kembali kepada hukum asli. Karena keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Hukum aslinya adalah suci dan tidak membatalkan wudhu.

Wallahu a'lam bish shawab.

Sumber: Al-Ibanah wal Ifadhoh, 
oleh: Sayyid Abdur rahman bin Abdullah bin Abdul qadir Assegaf

Selasa, 06 Oktober 2015

Anakku Tanamanku (?)

" Ustadzah ada yang sakit!"

"Ustadzah saya pengen pulang!"

"Ustadzah mau nonton film!"

"Ustadzah bantuin kerjain pr!"

Suara anak-anak itu tak jua berhenti. Dari mata terbuka di subuh hari sampai malam menjelang, ada-ada aja yang mereka ributkan. Kadang hanya karena dicubit oleh temannya aja sampai nangis berjam-jam. Kadang sebab tak dapat giliran mandi sampai mau tawuran antar teman. Haduuuhhhhh....

Ya Allah, ternyata mengurus anak itu susahnya pake banget yah! Masa' yah, kukatakan pada mereka suatu saat:

"Jangan lakukan itu!"

Eh, esoknya mereka melakukan hal yang sama lagi. Lalu kuperingatkan lagi. Dan mereka melakukannya lagi. Ya Allah... kalau bukan anak orang sudah kukocok mereka dalam suatu adonan dan kujadikan roti!! (kejam banget ya? heheh)

Memang, anak kecil macam mereka itu seperti tumbuhan yang baru kita tanam, harus rajin-rajin disiram dan dirawat kalau mau tumbuh dengan baik. Kalau kamu malas menyiramnya, nanti nasibnya bisa jadi seperti tanamanku dulu saat kuliah di IPB : GAGAL PANEN.hahah

Mereka pun begitu, harus terus dinasehati, diberitahu mana yang baik, mana yang buruk. Kadang nasehat itu harus secara lembut, kadang harus keras,sesuai watak sang anak.

Yah, semoga dengan adanya mereka,  kelak aku bisa jadi Ibu yang baik. (Aamiin aja deh walau gak nyambung. heheh)

Minggu, 04 Oktober 2015

Gerbang bernama Pernikahan

Menikah itu apa sih? Apakah ketika dua cinta bersatu? Atau sekedar peresmian pacaran? Hmmm...

Apa ya? Aku pun tak tahu harus menulis apa sebab belum memasuki gerbang itu. Baru  melirik-lirik saja malu-malu, sambil berbisik dalam hati, "Siapkah aku melangkah?" Karena sekali gerbang itu dimasuki, maka tak ada kata kembali lagi. Gerbang itu akan membawa kita menuju dunia yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Orang baru, lingkungan baru, perspektif baru. Semua serba baru.
Hasil gambar untuk animasi gerbang pernikahan
Melalui gerbang bernama pernikahan

Jadi...
Menurutku, sang calon pengantin (hehe), Menikah itu bukan tentang cinta manusia. Sungguh. Kalau tentang cinta manusia, maka biasanya yang jadi teladan itu Romeo- Juliet atau Laila-Majnun. Padahal mereka itu sama sekali tidak pernah menikah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah, bagaimana bersama dengan orang yang memuaskan hawa nafsu mereka atas nama cinta. Atas nama cinta pula, mereka rela mati. Ah, sungguh terlalu rendah bila menikah hanya karena cinta seperti ini.

Kau juga tahu kan, banyak mereka yang menikah atas nama cinta seperti ini lalu sebulan kemudian bercerai. Makannya, bagi kamu yang belum melangkahi gerbang ini, atau sudah berada di dalam gerbang pun, aku memiliki kisah indah untukmu. Tolong siapkan tisue di sampingmu, karena kamu pasti akan menangis mendengar kisah ini.

Kisah tentang wanita bernama Khadijah...

Khadijah adalah wanita sederhana dari daerah Baidho di Yaman. Ia sungguh wanita yang beruntung. Suaminya sangatlah lembut, romantis, dan perhatian. Pokoknya benar-benar sempurna! Tapi apa yang dikatakannya? Dengarkanlah..

"Tidak dengan mudah aku mendapat suami seperti ini..." Katanya mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengulang kisah masa lalunya..

"Awalnya kami menikah, suamiku memang baik dan romantis seperti yang kau lihat sekarang. Aku pun bersyukur menjadi istrinya. Kami menjalani rumah tangga dengan sangat bahagia." Ia menghela nafas panjang.

"Tapi suatu hari, suamiku tak juga pulang, padahal malam sudah sangat larut. Begitu khawatirnya aku hingga tak bisa tidur. Aku terus menunggunya pulang. Dan ketika malam sudah sangat-sangat larut, benarlah suamiku pulang dengan badan terhuyung-huyung. Ia masuk rumah lalu pingsan di depan pintu. Dan dari badannya kucium bau alkohol! Aku benar-benar terpukul, kupandang wajahnya yang sangat kusam itu, benarkah dia suamiku?"

"Aku tak tahu bagaimana di negaramu,tapi disini, lelaki merokok saja sudah merupakan aib besar, apalagi yang minum-minuman keras?!  Aku mencoba memaklumi dan hanya diam saja. Jika suamiku mau, dia pasti akan bercerita apa  yang sedang menimpanya. Subuh itu, aku shalat sendiri sebab suamiku tak bisa bangun. Ia bangun di siang hari lalu mengqodho shalat subuhnya. Tapi ia sama sekali tak mengatakan apapun tentang peristiwa semalam. Aku pun tak menanyakannya, kuharap itu malam terakhir ia seperti itu."

"Tapi ternyata tidak. Malam-malam selanjutnya pun ia terus seperti itu.Pulang dalam keadaan mabuk dan penampilan yang awut-awutan. Aku sama  sekali tak mengenalinya lagi, benarkah ia lelaki yang  kunikahi dulu? Aku sering menangis sendiri. Hingga akhirnya, suatu pagi suamiku bercerita,

'Maafkan aku, istriku. Aku sebagai suami adalah yang wajib menafkahimu, tapi aku ditipu. Aku bangkrut! Hartaku habis semua. Makannya kupakai untuk berjudi, tapi aku selalu kalah. Maafkan aku telah membuatmu khawatir. Tenang saja, aku pasti menafkahimu.' 

"Ketika dia berkata seperti itu, aku seolah menemukannya kembali. Aku senang dan berharap suamiku akan kembali seperti dulu."

"Tapi ternyata tidak. Ia tetap berkelakuan seperti itu. Pergi pagi, pulang malam dengan bau alkohol yang menyergak. Aku benar-benar tak tahan lagi. Akhirnya  kutemui beberapa ulama untuk meminta pendapat, semua berpendapat sama,

"Sekarang kau sudah boleh meminta cerai. Terserah anda, memilih untuk berpisah dengannya atau bersabar menghadapinya." 

"Aku memilih yang kedua. aku memilih untuk bersabar. Aku yakin pasti suamiku akan kembali seperti dulu. Maka kuputuskan untuk membantu suamiku dengan bekerja. Padahal di daerahku sangat jarang wanita yang bekerja. Aku membuat roti besar lalu menjualnya. Alhamdulillah usahaku lancar."

"Apakah suamiku berubah? Tidak. Ia malah semakin menjadi-jadi.setiap hari ia meminta uang untuk berjudi hingga uangku habis. Ia menggadaikan semua barang di rumah kami untuk betjudi, bahkan hingga cincin pernikahan kami... Ia ambil paksa dari jariku  hanya untuk berjudi!"

"Betapa kecewanya aku. Suamiku sudah benar-benar berubah menjadi orang lain. Aku sama sekali tak mengenalnya lagi. Kuputuskan bertanya lagi pada para ulama, dan jawaban mereka masih sama. Tapi ada seorang ulama yang berkata,

"Kau boleh memilih untuk meminta cerai atau bersabar.  Tapi jika kau memilih bersabar, teruslah do'akan suamimu agar bisa kembali ke jalan yang benar."

"Aku melupakan hal  itu. Berdo'a! Maka setiap malam, kudo'akan suamiku agar bertemu dengan orang yang mampu membimbingnya ke jalan yang benar. Aku terus bersabar dan berdo'a."

"Apakah ia berubah katamu? TIDAK. Ia bahkan tidak pernah pulang lagi selama sebulan ini. Hingga akhirnya berita ini diketahui orangtua kedua belah pihak walau keduanya berada di sisiku."

"Maafkan aku, Nak. Wanita sebaik dirimu tak pantas diperlakukan seperti ini.Aku akan mengurus perceraiannya." Kata mertuaku sambil menangis memelukku.

"Tidak," jawabku."Aku akan terus menunggu dan bersabar untuknya."

Mertuaku menangis,"Kau memang benar-benar wanita yang baik, Nak" Ia memelukku erat.

Bulan berikutnya pun, aku masih sendiri. Tiga bulan sudah suamiku tidak pulang. Tapi aku terus mendo'akan dirinya.

Hingga suatu hari, ada tangan yang menyentuhku ketika tertidur. Aku segera bangun dan melihat lelaki di hadapanku meneteskan air matanya. jenggot dan cambangnya sangat tak terurus, dialah suamiku!


"Apakah kau masih istriku?" Tanyanya.


"Tentu saja. Bukankah hanya kau yang berhak menceraikanku." Jawabku.

Ia segera memelukku erat, "Maafkan aku, istriku.. Maafkan aku.."

Aku pun tak kuasa menahan tangis, suamiku sudah benar-benar  kembali!

"Mari kita pindah ke Tarim, Hadramaut. Disana aku bertemu dengan Al-Habib Umar bin Hafidz yang mengajarkanku ketenangan diri. Aku benar-benar merasa senang berada di sana. Habib Umar memintaku tinggal disana untuk menjadi pembuat roti untuknya." Katanya.

Aku tersenyum senang. Perjalanan kami menuju Tarim yang selama berpuluh jam itu adalah perjalanan terindah bagiku,

Aku pun mengajarinya membuat roti, hingga sekarang ia menjadi pembuat roti Habib Umar seperti yang kau ketahui.

"Itulah kisahku.."


*kisah ini diambil dari buku "Muhasabah cinta"  oleh Halimah Alaydruss

Rabu, 30 September 2015

apaapapapa

Kau tak pernah tau, kawan..
bahwa pikiranku tak lagi bekerja seperti dulu
tak lagi menjelajah waktu
tak lagi kepada ingin tahu, berburu
dia diam
tak berkata atau bergumam
hanya diam

kau tak pernah tahu, kawan..
bahwa lisanku kini tidak lagi berkata padu
hanya  berceracau kacau
seperti bangau-bangau
kacau balau

kau tak pernah tahu kan, kawan?
setiap pandanganmu aku takut
setiap langkahmu aku mundur
setiap teriakanmu aku merutuk

kau tak pernah ingin tahu, kan
kawan?

Kamis, 17 September 2015

Kasihani Aku

Aku tak tahu mau menulis apa
hanya saja  jariku terus berteriak minta disapa
sebab seharian aku hanya membiarkannya terlunta
dan inilah jadinya saat mereka berbicara..

PROTA...
PROMES..
RPP...
SILABUS...

kawan, kau tahu??
kata-kata itu terus menghantuiku
bahkan hingga mata tertutup
hingga hilang segala kata
hanya mereka
saja!

hanya kau yang pernah mengajar
di tempat-tempat pemerintahan
atau berhubungan dengan mereka
yang mengerti dan memahami
penderitaanku selama berhari-hari ini

bagimu yang tak mengerti kawan,
kasihanilah aku
sebab membuat beragam khayal sementara ini aku tak mampu

PROTA...
PROMES..
RPP...
SILABUS...

PROTA...
PROMES..
RPP...
SILABUS...
 
..aku hilang..

Jumat, 11 September 2015

Cinta Kakak Nomor Enam

Zaman sekarang kayaknya kalau gak pacaran gak afdhol yah. Masa saya yang udah pake hijab masih juga ditanya sama ibu-ibu tetangga:

"Pacarnya mana?"

saya jawab dengan senyum aja, daripada harus ngeluarin dalil ini itu kan jadi ribet urusannya. Dipikir-pikir harusnya saya bersyukur karena ibu-ibu tanyanya begitu bukannya nanya,

"Kapan nikah?"

kan artinya wajah saya masih wajah remaja yang biasanya pacar-pacaran tuh. Bukan wajah ibu-ibu  yang pantas nikah (maaf kalau ada yang tersinggung. hehe)

Oke, back to the point. Nah, Sebelum nikah, pacaran sudah jelas-jelas terlarang. Mau pacaran biasa ataupun islami sama aja. GAK BOLEH. Titik, gak pake koma. Terserah lah mau pake dalil ta'arufan atau tunangan, yang jelas dua orang yang berlawanan jenis dan bukan mahrom dilarang menyepi. Orang-orang yang gak mau disalahin berarti mencari pembenaran, bukan kebenaran.

Nah, yang mau saya sorot disini adalah tentang kakak saya (lho, kok tiba-tiba ganti topik??). Hehe, tenang saja, kawan  ini masih topik yang sama kok.

Kakak saya nomor enam itu istimewa. Semenjak remaja, dia paling suka sama buku. Pokoknya kalau sudah berduaan  sama buku kagak bisa diganggu dah. Sepanjang pengetahuan saya, dia tidak pernah mengenal wanita.

Dan Allah membawanya menuju dunia pesantren yang membuatnya semakin menutup diri dari wanita. Dia tak pernah berbicara dengan siapapun tentang wanita, tidak seperti kakak-kakakku yang lain. Bahkan kakakku yang sangat pendiam saja punya cerita tentang wanita. Tapi dia, setahuku, tidak pernah menyinggung itu.

Setelah lulus dari pesantren, pemilik pesantren (biasa dipanggil Ustadz) menawarkan kakakku menikah.Wah! Luar biasa kaget keluargaku! Kakakku yang cupu dan lugu mau menikah?? benar-benar kabar yang tak terduga!

tibalah hari itu, Ustadz menjemput kakakku menuju rumah sang calon istri. Ohya, kakakku memakai kacamata sebab kegemarannya membaca buku. Nah, pada hari pertemuan dengan si dia, kacamata kakakku rusak! Jadi dia pergi tanpa kacamata. dan apalah arti  matanya tanpa kacamata??

Akhirnya yang terjadi adalah...

Mamah saya: "Bib,  gimana perempuannya?"

Kakak saya: "Baik, Mah."

Mamah saya: "Cantik?"

Kakak saya: "Gak tau mah, gak keliatan. Kacamata saya rusak."

Dan gara-gara kacamata rusaklah,kakakku tidak jadi menikahinya. Tapi Ustadz gak putus asa, akhirnya memperkenalkan kakakku lagi dengan muridnya yang lain.

Yang terjadi adalah...

Mamah saya: "Bib, gimana?  cantik?"

Kakak saya: "gak tau mah, kacamata saya belum selesai diperbaiki."

waduh! Mamahku cuman senyum-senyum aja ngeliat tingkahnya. Mau gimana lagi? Jodoh kakakku belum datang sebab kacamatanya juga belum  datang dari optik. haha.

Nah, ini nih.. tiba-tiba kakakku dengan kacamatanya yang sudah diperbaiki iu dibawa ke rumah seorang pria gagah yang memiliki anak perempuan yang...ah, pokoknya akhir adegan itu adalah..

Mamah saya: "Bib, gimana?"

Kakak saya: (menunduk malu, mukanya merah) "Cantik mah.."

Itulah pertama kali kakakku melihat seorang wanita dengan jelas. Dan wanita yang dilihatnya pertama kali itulah yang menjadi bidadari dalam hidupnya. Ya, kakakku dan wanita cantik itupun bersatu dalam bahtera rumah tangga...

Enak ya yang jadi istrinya kakakku itu. Dialah satu-satunya wanita yang benar-benar dilihat jelas oleh kakakku. Dia satu-satunya wanita yang menempati hati kakakku.Dia satu-satunya wanita yang mendapat segala yang pertama dan terakhir dari kakakku.

Wanita itu..
Memang pantas dia seberuntung itu..
sebab ia pun menjadi segala yang pertama dan terakhir untuk kakakku
Pertama dan terakhir mencintai dengan dalam
Pertama dan terakhir disentuh bukan mahrom
Pertama dan terakhir berbicara manis dengan lelaki
Pertama dan terakhir segalanya..

Sebab itulah,
Aku pun ingin

Sebab itulah,
Aku pun menahan

Sebab setidaknya
jika memang aku bukan yang pertama,
Aku menjadi terakhir baginya..
terakhir yang bahagia
tanpa diawali dengan dosa..

Selasa, 08 September 2015

aku dan pasukan

Betapa lelah pendengaranku, kawan
tiap hari bermandikan keluhan dan cacian
padahal telingaku lubangnya kecil nian
tapi suara-suara besar itu terus berdesakan
masuk tanpa dipersilahkan

Betapa menyedihkan mataku, kawan
setiap masa memandang tanpa aturan
tengok depan belakang kiri dan kanan
tak mendengar satupun peringatan

Betapa kasihan lisanku, kawan!
lubang satu tapi banyak yang dikeluarkan
menanam dosa tanpa disadari akal pikiran
tiba-tiba hati-hati manusia tersakiti sebab ucapan

Betapa menderitanya aku kawan!
pemilik telinga,mata, dan lisan
harus  menjaga  semua pasukan
penuh ketaatan
agar selamat sampai akhir tujuan

aku,pasukanku,
bersiaplah!!

Cinta di balik Cadar


Seorang lelaki duduk di atas panggung. Dia baru saja datang dari Hadramaut, Yaman. Lulusan dari pesantren ini juga, tapi ia mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Ahqaf, berkat kecerdasannya. Yang kutahu, ia masuk Fakultas Syari’ah, tapi kudengar ia juga menghafalkan Al-qur’an di sana. Entahlah, tapi yang jelas Uwais yang dulu sudah jauh berbeda dengan Uwais yang sekarang. Selain janggutnya yang mulai dia pelihara itu, sekarang Uwais semakin teduh dan berwibawa. Lihat saja, di acara pertemuan alumni pesantren kami saja ia duduk di depan sebagai salah satu pembicara. Walaupun aku hanya melihat dari layar besar di samping kanan tempat duduk wanita, karena dihalangi hijab, tetapi kharismanya telah membuat kami terdiam khusyuk mendengarkannya.

“Ya, mungkin Bang Uwais bisa berbagi sedikit tips untuk kami yang akan segera terjun ke masyarakat ini. Bagaimana caranya menjadi dai yang didengar, Bang? Eh, atau saya lebih pantas panggil Syaikh Uwais ya?” Sang moderator menunduk pada  Uwais sebagai tanda hormat.

“Ah, tidak. Dipanggil Bang saja, saya masih Uwais yang dulu kok. Yaa.. selain janggut ini tak ada yang berbeda dari saya.” Candaan Uwais membuat semua tertawa, termasuk aku. Ya, benar ini memang Uwais yang dari dulu senang bercanda. Uwais yang dari dulu pun sudah kukagumi.

“Baiklah, Bang Uwais.. Jadi bagaimana nih agar lulusan pesantren ini bisa diterima di masyarakat?” Moderator mengulang pertanyaannya.

Uwais tersenyum. “Sebenarnya saya juga tidak pantas memberikan nasihat tentang ini, lha wong saya sendiri saja belum diterima di masyarakat kok. Kemarin bahkan saya sempat dilempari telur. Sampai sekarang baunya tak hilang.” Audiens yang merupakan lulusan baru pesantren tertawa. Aku tahu kejadian itu dari temanku, bahkan katanya masuk koran daerah.

Uwais tengah mengadakan ceramah di daerah pelosok ketika itu untuk merayakan kelahiran Nabi  Muhammad saw. Uwais tak tahu kalau ternyata daerah ini sudah disusupi paham yang sangat membenci pujian terhadap Nabi saw. Mereka melarang segala bentuk shalawat dan pujian untuk Rasulullah saw, karena mereka menganggap itu adalah syirik, bisa membuat kita malah menyembah Rasul seperti yang dilakukan kaum Nasrani.

Maka ketika Uwais menganjurkan penduduk desa itu untuk memperbanyak berbagai shalawat dan membaca maulid, salah satu penduduk berdiri dan berteriak, “Itu Bid’ah!!”
Uwais tentu saja kaget mendengarnya, tapi ia berusaha mengontrol dirinya kemudian menanggapinya dengan tenang, “Coba jelaskan pada saya, dimana letak bid’ah yang saudara maksud?” tanya Uwais.

“Membaca shalawat, membaca maulid, itu Bid’ah!” Pemuda itu masih berteriak. Majelis ta’lim menjadi semakin tegang.

Uwais menarik napas dalam. “Lho, kata siapa itu bid’ah. Bahkan itu berpahala karena Allah berfirman ‘Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya bershalawat atas Nabi, Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah atas Nabi!’ Ini perintah dari Allah langsung loh.” Jamaah mengangguk-angguk setuju dengan apa yang dikatakan Uwais.

“Ya, tapi itu hanya dengan shalawat Ibrahimiyah yang diajarkan Rasul saw. Sedangkan shalawat lain seperti Shalawat Nariyah atau Badriyah atau apalagilah namanya, itu tidak pernah diajarkan Rasul! Ustadz sudah mengajarkan Bid’ah. Ingat ustadz, semua Bid’ah itu sesat!” Pemuda itu menggebu-gebu.

Uwais mengangguk. “Kau sudah menikah?” Uwais malah balik bertanya pada pemuda itu.

“Maksud Ustadz? Kok malah bertanya seperti itu?” Pemuda itu kebingungan.

“Jawablah dahulu, nanti saya jelaskan.” Pinta Uwais.

“Sudah.” Jawab pemuda itu.

“Lalu, kau memanggilnya apa?” Uwais bertanya lagi. Pemuda itu mengerutkan kening dalam-dalam. “Jawablah, maka kau akan mengerti.” Suruh Uwais. Jamaah yang lain juga mendesaknya menjawabnya. Majelis ta’lim pun jadi semakin tegang.

“Be..Bebi.” Seluruh jamaah tertawa mendengar jawaban pemuda itu. Mungkin maksudnya Baby, panggilan sayang untuk seseorang, tapi pemuda yang logatnya sangat Sunda itu menyebutnya Baby dengan sangat lucu. Muka pemuda itu merah menahan malu.

“Lalu, kalau kau panggil istrimu dengan sebutan ‘bidadariku’ atau ‘rembulanku’, apakah berdosa?” tanya Uwais.

“Ya.. tentu saja tidak! Itu adalah hakku. Itu kan ungkapan.. sayang..” Muka pemuda itu makin merah, jamaah yang lain malah makin menggodannya dengan menyurakinya.

“Begitu pula pujian kita untuk Rasulullah saw. Bukankah beliau yang lebih patut kita cintai lebih daripada cinta kita pada istri kita? Lalu apakah berdosa kita menyanjungnya sebagai rembulan atau memuji akhlaknya yang agung dalam syair, atau menceritakan mukjizatnya dalam kata yang indah sebagai bentuk cinta kita pada rasul saw? Apakah itu berdosa?” Tanya Uwais.

Pemuda itu menunduk, sepertinya kehabisan dalil. Tapi teman di sebelahnya, yang ternyata komplotannya tak terima, ia melempar telur yang baru saja dibelinya di pasar karena disuruh istrinya, tepat ke arah Uwais. Jamaah lain tak terima dengan itu, hampir saja terjadi adu jotos. Untung saja panitia pelaksana bisa melerainya sehingga tak terjadi hal yang tak diinginkan.

“Tapi yang jelas,” Uwais melanjutkan jawaban atas pertanyaan sang moderator. “Kita harus tahu masyarakat seperti apa yang akan kita selami. Jangan kita sama ratakan semua masyarakat. Kadang ada masyarakat intelek yang harus kita buat tertarik dengan logika, ada juga masyarakat yang tak bisa berbicara selain bahasa daerah mereka. Untuk yang satu ini, kita harus bisa tahu dan paham bahasa dan budaya mereka.”  Uwais berhenti sejenak, melihat lulusan pesantren yang sangat berambisi seperti ini di hadapannya membuatnya rindu masa-masa belajar.

“Dan yang terakhir,” Uwais mengakhiri pembicaraannya, “Ingatlah, ilmu yang kita miliki kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Apakah kita amalkan dengan baik atau malah kita sembunyikan? Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Semoga Adik-adik semua kelak menjadi pelita-pelita yang menyinari negeri kita ini.”

Harapan Uwais diamini semua alumni. Tepuk tangan yang meriah mengakhiri acara temu alumni kali ini. Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil, Aku sangat bersyukur bisa datang kesini. Aku juga senang bisa melihat Uwais kembali, walau kali ini hanya lewat layar itu. Kuharap, ia masih ingat denganku, temannya saat masih suka berbuat usil dahulu.

Aku merapikan cadar-ku. Ya, sejak lulus dari pesantren ini setahun silam,  aku sudah bertekad untuk menutup seluruh badanku, tanpa terkecuali. Ibu dan ayah bahkan aku juga sempat khawatir, jika aku memakai cadar yang menutupi seluruh tubuhku seperti ini, apakah akan ada lelaki yang melirik padaku? Bahkan saudara-saudaraku pun kini agak menjaga jarak dariku, mereka bilang aku macam hantu atau teroris.

Tapi, nasihat Ustadzah Hanina padaku saat malam kelulusanku yang membuatku membulatkan tekad dan tak mempedulikan omongan orang lain. “Naqia, Aku ingin berpesan padamu satu hal. Kau pernah bertanya padaku kan apakah cadar itu wajib?” Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ustadzah Hanina. Waktu pertama aku melihat Ustadzah Hanina memakai cadar, aku menanyakannya, mengapa ia memakai cadar sedangkan ustadzah lainnya tidak, apakah cadar itu wajib? Begitulah tanyaku waktu itu dan Ustadzah hanya tersenyum sambil berkata, ‘Nanti akan Aku jelaskan jika waktunya sudah tepat’.

“Aku kira sekaranglah waktu yang paling tepat untuk menjelaskannya. Kau sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri. Seandainya waktu itu Aku mengatakan wajib dan menyuruhmu memakainya, Aku tak yakin kau masih bertahan hingga saat ini.” Ustadzah Hanina mengambil nafas dalam-dalam. Aku mendengarnya dengan serius, aku memang sangat ingin tahu tentang ini.

“Ulama berbeda pendapat tentang ini.  Kau pun sudah mempelajarinya kan?” Aku mengangguk. Ya,aku tahu bahwa sebagian ulama ada yang mengatakan aurat wanita adalah semua anggota tubuh tanpa terkecuali, ada juga yang mengatakan kecuali yang biasa dilihat yaitu wajah dan telapak tangan. Aku sudah paham betul tentang ini. “Kali ini Aku tak akan mendebatkan masalah itu. Ini adalah tentang pendapatku pribadi.” Ustadzah memulai penjelasannya.

“Menurutku, cadar bukan sekedar kewajiban, tapi ia adalah kebutuhan. Dengan menutupi seluruh tubuh ini, Aku merasa sangat tenang dan damai. Aku juga ingin menjadi salah satu prajurit Sayyidah Fatimah di akhirat kelak.” Aku mengerutkan kening mendengar kalimat terakhir ustadzah hanina.

“Maksud Ustadzah?” Tanyaku.

Ustadzah Hanina tersenyum menanggapinya, “Nanti di akhirat kelak, salah satu wanita yang melewati shiratal mustaqim dengan lancar adalah Sayyidah Fatimah dan prajuritnya. Tahukah kau siapa prajuritnya itu?” Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ustadzah Hanina. “Mereka adalah wanita-wanita yang menjaga syariat dan berpakaian sama dengan Sayyidah Fatimah. Merekalah yang diriwayatkan oleh para sahabat bahwa mereka tak bisa dibedakan mana bagian depan atau belakang mereka.”

Ustadzah Hanina menangis, “Apalah arti amalku yang sedikit ini? Semoga dengan memakai cadar ini aku diakui sebagai umat Rasulullah saw. Ya Rasul, hanya ini yang mampu kulakukan. Terimalah aku sebagai umatmu.”

“Aamiin.” Aku mengamininya sambil berderai air mata. Sejak saat itulah cadar menjadi pilihanku. Aku ingin seperti Ustadzah Hanina.

Aku menunggu semua keluar ruangan. Aku tak suka berdesak-desakkan.

“Qia, gak mau ikut ke Pesantren dulu? Kita mau nostalgia nih.” Ajak Sarah, teman seangkatanku.

Aku menggeleng, “Tidak, syukron. Ana harus segera pulang, kembaran  Ana pulang hari ini.” Jawabku.  Memang, siang ini kembaranku, Zahira akan kembali ke rumah setelah bertahun-tahun di negeri Yaman. Sama seperti Uwais, adik kembarku juga mendapat beasiswa di sana,di Fakultas Tarbiyah. Adik kembarku memang lebih pintar dan dewasa dariku. Dia juga yang lebih dahulu pesantren di sini dan memakai cadar. Itu sebabnya meski aku kakaknya karena lahir lima menit lebih awal, tapi Zahira adalah kakak kelasku di Pesantren ini. Semua juga mengira dialah yang Kakakku dan aku Adiknya. Ya, tak apalah, aku senang saja disebut sebagai adiknya, berarti aku awet muda kan?

“Ohh.. titip salam buat Kak Zahira ya! Kami duluan, Assalamu’alaikum!” Ucap Sarah.

“Wa’alaikumussalam.” Aku menjawab salamnya. Sarah pun pergi bersama kawan yang lain setelah kami bersalaman.

Setelah semua keluar ruangan, aku pun segera keluar ruangan. Aku harus melewati gang yang sempit untuk sampai ke terminal Bus. Hari ini Ayahku tak bisa menjemput karena harus menunggu Zahira di bandara, jadi aku harus pulang naik bus. Di tengah gang sempit yang hanya cukup untuk dua orang itu, seseorang berdehem dari belakangku. Kontan saja aku melihat ke belakang karena kaget, ternyata jarak selangkah dariku ada Uwais! Jantungku berdegup kencang, apa yang harus kulakukan, apa ia berdehem agar aku berjalan lebih cepat atau? Akhirnya aku hanya terdiam.

“Maaf, boleh saya lebih dahulu? Tak elok rasanya saya berada di belakang akhwat.” Katanya sopan.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya mengangguk. Ia pun berjalan melewatiku begitu  saja. Ah, tak tahukah dia bahwa yang dilewatinya adalah sahabat karibnya selama SMP? Sahabat yang membantunya menjaili guru agama kami dengan memberikan katak kecil di tempat kapur? Atau membelanya ketika ia membuat teman perempuan sekelas kami menangis karena kecoa yang kami tangkap dengan mengatakan bahwa kami hanya berusaha membuang kecoa itu? Atau yang sama-sama dijemur di bawah terik matahari karena tak ikut upacara bendera dan malah membuat seluruh peserta upacara tertawa melihat celana sang pembawa bendera yang kami bolongi?

Uwais dan Aku tak akan pernah menyangka kami akan seperti ini. Ia tumbuh dengan pesat, sedangkan aku sama sekali tak jauh beda. Selain cadar yang kukenakan, tak ada yang berubah dariku. Aku masih Naqia yang bodoh. Aku berandai-andai, sekiranya aku tak mengenakan cadar ini, mungkinkah Uwais tadi mengenaliku dan menyapaku? Aku menggeleng. Inilah pilihanku dan Aku tak akan pernah melepasnya sepanjang hidupku!

Di rumah, ternyata Zahira sudah sampai. Aku segera memeluknya haru. Aku sungguh merindukannya. “Kok gak pernah kirim kabar? Kangen tau!” Aku mencubit pipinya  yang merah merona itu.

“Ira takut gak fokus belajar, Kak. Jadi Ira gak pernah kirim surat atau baca surat dari rumah. Surat-surat yang kakak kirim baru saja Ira baca di pesawat. Ayo kakak ngaku, siapa sih pangeran yang kakak kagumi itu?” Zahira menggodaku di depan kedua orangtua kami. Aku jadi salah tingkah, kututup mulutnya.

“Ssst.. nanti Ayah dan Ibu mau tahu lagi.” Kataku.

“Ayo ngomongin apa sampai Ayah dan Ibu gak boleh tahu?” Ibu memeluk kami dari belakang.

“Ahh, tidak.. Ra, ke kamar yuk! Pasti capek.” Aku menggaet tangan Zahira. Dasar Zahira, kalau Ayah dan Ibu tahu, bisa panjang urusannya!

Zahira terus mendesakku untuk bercerita tentang seseorang yang kukagumi. Aku hanya tersenyum, malu untuk mengatakan bahwa aku mengagumi Uwais yang dulu selalu kuejek si kecil karena ukuran tubuhnya yang kecil bila dibandingkan teman laki-lakinya. Namun sekarang ia bahkan terlihat sangat gagah dan.. cukup tampan.

“Dia kuliah  di Hadramaut juga, ya?” Zahira bertanya sambil merebahkan tubuhnya ke kasur. Aku mengangguk malu-malu. “Ustman?” Zahira menyebutkan nama lelaki yang juga mendapat beasiswa ke Hadramaut. Aku menggeleng.

“Ali?” tebaknya lagi. Kujawab lagi dengan menggeleng.

“Hmmm...” Zahira berpikir keras. Aku ikut tiduran.

“Sudahlah, ini tak penting kok. Tidur saja sana, kau pasti lelah sekali.” Kataku. Zahira tak merespon. “Ra, tadi orang itu datang ke acara temu alumni. Dia... sangat berwibawa. Aku sangat ingin kelak suamiku seperti itu..” Aku mengeluarkan isi hatiku. Tapi aneh, kali ini Zahira hanya diam saja, aku bangun dan melihat Zahira, ternyata dia sudah tidur! Ya Allah, berarti tadi aku berbicara sendiri? Aku tersenyum malu-malu.

Ah, biarlah hanya Allah yang tahu rahasia hatiku.

Minggu selanjutnya keluargaku dikagetkan dengan kedatangan seorang ulama besar kota kami. Dia memiliki majelis ta’lim yang cukup besar. Bahkan akhir-akhir ini sering terlihat di televisi sebagai penceramah. Awalnya kukira mereka hanya ingin bertamu seperti kebanyakan ulama yang mampir ke rumahku. Ayahku memang cukup terkenal sebagai pengusaha baju muslim yang berkualitas, banyak ulama yang menyukai pakaian Ayah. Tapi ketika aku diminta untuk ikut melayani tamu, hatiku sedikit berdebar. Untuk apa?

“Qia, duduklah dahulu disini.” Ayah memintaku duduk di sebelahnya. Aku menurut saja, kutundukkan pandanganku walaupun cadar sudah menutupi wajahku. “Ini Kiayi Naufal, kau kenal kan?” Tanya Ayah.

Aku mengangguk malu. “Tentu saja aku tahu, Ayah. Aku sering melihatnya di televisi.” Jawabku. Kiayi Naufal dan pemuda di sebelahnya tersenyum.

“Baguslah kalau begitu. Kiayi Naufal ingin memintamu menjadi menantunya.” Ucapan Ayah membuat dadaku berdegup kencang. Bagaimana mungkin? “Beliau mengagumi tulisan-tulisanmu di koran nasional.” Sambung Ayah. Aku memang senang menulis artikel untuk salah satu surat kabar nasional sehingga akhirnya aku direkrut menjadi pengisi salah satu kolom di situ.

“Kalau begitu, bisakah kau buka cadarmu agar anakku bisa melihatmu dan kau pun melihatnya?” Tanya Kiayi Naufal.

Aku mengangkat wajahku perlahan. Kulihat pemuda di depanku, gagah dan berwibawa. Kudengar ia lulusan pesantren yang kemudian kuliah di Jakarta. Dia sudah menorehkan beberapa prestasi yang mengagumkan sehingga dinobatkan sebagai pemuda Inspirator Indonesia. Aku menatap Ayahku ragu, Ayah hanya mengangguk tanda setuju. Kubuka cadarku, dan aku menatap pemuda itu sekali lagi, ia tersenyum padaku.

“Bagaimana Naqia? Apa pendapatmu tentang anakku, Kamal?” Tanya Kiayi Naufal. Aku hanya menunduk, malu sekali rasanya untuk mengatakan sesuatu.

“Wanita pasti malu jika ditanyakan hal semacam itu. Diamnya seorang anak gadis adalah setuju, bukankah begitu?” Ayah membuatku semakin malu. “Nak Kamal sendiri bagaimana?” Ayah balik bertanya pada Kamal.

“Aku.. setuju.” Ucapan Kamal membuat jantungku berdebar kian hebat. Anak seorang kiayi besar menyukaiku?

Kedua orang tua saling tersenyum, “Kalau begitu minggu depan aku akan datang bersama keluarga besar untuk mengkhitbah Naqia secara resmi.” Kiayi Naufal mengakhiri pertemuan itu.

Aku tak bisa tidur semalaman. Apakah benar Kamal itu jodohku? Aku tenggelam dalam sujud shalat malamku. Namun tiba-tiba seseorang membangunkanku, “Istriku, bangunlah..” kata suara itu. Mataku tak bisa terbuka padahal aku ingin melihat siapa yang membangunkanku itu.

“Istriku, ayo bangun!” Suaranya lembut penuh wibawa. Aku kenal suara ini. Ini suara orang yang berbicara di acara temu alumni. Ini suara Uwais! Kenapa ia memanggil aku istrinya?

“Istriku, Ayolah Bangun!” suara itu muncul lagi. Tapi sekuat apapun aku ingin membuka mata, tetap saja tak bisa. Hingga akhirnya kugunakan kedua tanganku untuk membukanya sekuat tenaga dan..

“IRA!” Aku kaget melihat Zahira di hadapanku sedang mengguncang-guncang badanku.

“Iya, Kau kira siapa? Kamal? Kalau begitu ayolah bangun istriku..” Zahira meledek sambil mengedipkan matanya. Ternyata aku tadi hanya mimpi. Tapi, mengapa suara itu mirip.. suara Uwais?

Keluarga besar Kiayi Naufal benar-benar datang pada hari yang dijanjikan. Kami pun menyambutnya dengan hangat walaupun masih ada sedikit ganjalan di hatiku. Tapi aku menangkisnya, bukankah tak ada mudharatnya aku menerima Kamal sebagai suamiku?

“Ohya bolehkah aku minta satu hal pada Naqia?” Tanya Kamal di tengah perbincangan kami.
Aku mengerutkan kening, “Apa itu, Kak?” tanyaku.

“Jika kelak kau sudah menjadi istriku, maukah kau untuk melepas cadarmu? Aku tak ingin istriku bercadar, cukup berjilbab saja.” Kata-kata Kamal membuatku terhenyak. Apa katanya? Melepas cadar ini?! Susah payah aku berusaha membuat diriku sendiri percaya diri dengan cadar dan mengatakan bahwa cadar tak menghalangi jodoh seseorang, tapi kini calon suamiku ingin aku melepasnya?

Haruskah aku menurutinya? Bukankah syurga seorang istri ada pada suaminya? Atau aku menolaknya dan kesempatan untuk menjadi menantu seorang pemuda luar biasa ini lewat begitu saja? Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Jika aku tak mau?” Pertanyaanku membuat kedua belah pihak keluarga tegang. Padahal tadinya sangat cair.

“Aku tak mau beristrikan wanita bercadar.” Jawab Kamal. Aku mengerti maksudnya.

“Kalau begitu kenapa tak bilang dari awal pertemuan kita?” Aku sedikit marah. Kalau tahu begini aku tak perlu memperlihatkan wajahku padanya!

“Karena kupikir kau akan mau jika kuminta kau buka cadarmu untuk menjadi istriku.” Kamal menjawab sedikit sombong.

“Kalau begitu, maaf. Aku tak akan pernah melepas cadarku.” Kupakai kembali cadar yang kutanggalkan.

Pertemuan hari itu membuatku sakit hati. Bagaimana bisa Kamal mempermainkanku seperti ini? Meski Kiayi naufal sudah meminta maaf dan Ayah sudah memaafkan, tapi sakit hatiku masih membuatku menangis di dalam kamar sendirian.

Apakah cadar ini penghalang jodohku?

Ayah dan Ibu berusaha menghiburku begitupula Zahira, mereka bilang lelaki tak hanya Kamal, masih banyak lelaki lain di dunia ini. Aku tahu, aku sangat faham itu. Yang aku tak terima adalah, mengapa Kamal tega mempermainkan hatiku? Mulai saat itu, tiap kali Ayahku menyinggung tentang pernikahan, aku tak menggubrisnya, aku masih trauma dengan lelaki. Ah, mungkinkah Uwais juga seperti Kamal? Hei, kenapa aku malah memikirkan orang itu?

Sebulan lamanya aku menyimpan sakit hati ini, kutolak segala macam orang yang datang mengkhitbahku. Mereka semua sama, tak mau memiliki istri bercadar! Memang apa salahnya dengan cadar ini? Bukankah ini semakin membuatku istimewa? Dasar lelaki tak tahu selera!

“Nak, ada seseorang yang ingin melihatmu.” Kata Ibu setelah masuk ke kamarku dan duduk di samping tempat tidurku.

“Aku tak mau, Bu. Tuh, suruh  Zahira saja yang menikah duluan.”   Jawabku singkat. Ibu hanya mengambil nafas dalam-dalam.

“Memang ada dua pemuda yang datang ke sini untuk melihatmu dan Zahira.” Kata Ibu. “Zahira sudah setuju, tinggal dirimu, Nak.” Lanjutnya.

“Kalau begitu, pinta Zahira untuk memutuskannya. Terserah pemuda itu mau atau tidak, tapi aku tak mau memperlihatkan wajahku padanya. Dan katakan pada pemuda itu aku tak akan melepas cadarku hanya untuk menikahinya!” aku berbicara panjang lebar.

“Kenapa kau tak mengatakannya sendiri?” Tanya Ibu.

“Aku masih sakit hati, Bu. Kalaupun pemuda itu tak mau, terserah!” aku kembali menenggelamkan kepalaku ke bantal. Ibu hanya menggeleng saja melihatku lalu pergi meninggalkanku sendiri.

Malamnya, Zahira masuk ke kamarku dengan sumringah. Wajahnya ceria sekali.
“Kak, kita akan menikah di waktu yang sama!” Katanya.

Aku menanggapinya dingin, “Jadi pemuda itu mau menikah denganku?” Zahira mengangguk. “Memangnya siapa dia?” Aku jadi penasaran. Mengapa dia mau menikah denganku meskipun tidak melihat wajahku?

“Kau pasti menyesal tak melihatnya tadi.Uwais datang melamarku!” Ucapan Zahira membuatku kaget. Uwais? Aku tak mendengar perkataan Zahira lagi, entah mengapa hatiku rasanya sakit sekali. Uwais akan menikahi Zahira? Ya Allah, mengapa harus Zahira? Air mataku turun tanpa kupinta. Zahira yang melihatku menangis menjadi heran.

“Kak, temannya Uwais juga hebat kok. Gak kalah sama Uwais, tenang saja.” Katanya menghibur. Aku menelan ludah. Jadi jodohku adalah temannya Uwais?

“Siapa?”Tanyaku.

“Siapa apanya  Kak?” Zahira balik bertanya.

“Nama teman Uwais?”

“Hamad. Kakak ternyata penasaran juga ya! Makannya jangan sok deh, tadi pagi aja disuruh liat gak mau. Tapi kakak kan udah tahu Uwais, jadi tak apalah. Aku tidur dulu ya Kak, sudah malam.” Zahira meninggalkanku sendiri.

“Ohya Kak, akad nikah akan diselenggarakan minggu depan, sekalian acara khataman Al-qur’an di majelis Uwais.” Zahira menambahkan saat akan keluar kamar.
Aku tak percaya ini. Aku akan menikahi Hamad, yang entah bagaimana orangnya, sedangkan adikku Zahira menikahi orang yang sangat kukagumi? Aku mengelus dadaku. Inilah yang namanya jodoh, lagipula Uwais memang lebih cocok dengan Zahira, sama-sama pintar dan dewasa. Aku harus menerima kenyataan ini.

Hari berganti hari, akhirnya acara akad nikah sederhana kami akan dimulai juga. Kami tidak disatukan di depan penghulu, hanya Uwais dan Hamad yang mengucapkan akad nikah di depan penghulu,sedangkan aku dan Zahira menunggu suami kami di kamar masing-masing. Rencananya  resepsi akan kami laksanakan esok hari, jadi hari ini hanya akad saja.

Hatiku berdebar tak keruan. Seperti apa Hamad kelak, apakah ia segagah Uwais? Apakah ia memiliki wibawa seperti Uwais? Atau sepintar Uwais? Aku menggeleng! Mana mungkin aku membandingkan suamiku dengan lelaki lain, itu tak patut. Hamad, pasti yang terbaik untukku. Samar-samar kudengar dari speaker yang terpasang di depan rumah kami, seseorang melafalkan akad nikah,

“Zawajtuka wa nakahtuka bi bintiy, Naqia Nabihah bi mahrin khomsi miah rubiah” Itu pasti suara Ayahku. Memang tak jelas sih suaranya, tapi ini kan lafadz yang diucapkan wali, jadi ini pasti ayahku.

“Qobiltu nikahaha bi mahrin madzkur.” Suara itu tegas tanpa terputus. Akad itu diulang sebanyak 3 kali untuk memastikan bahwa akad ini benar-benar sah. Begitupun yang dilakukan pada Zahira. Aku menangis, sah sudah aku menjadi istri Hamad. Aku berusaha memasang wajah ceria untuk meyambut suamiku. Aku akan berusaha menjadi istri terbaik untuknya.

Aku mendengar keramaian dari luar, ah pasti Hamad dan Uwais sudah datang. Aku bersiap, kurapikan pakaian dan dandananku sekali lagi, kebaya putih yang kukenakan membuatku malu sendiri, aku tak pernah merasa secantik ini.

Tok..tok..tok.. seseorang mengetuk pintu. Itu pasti Hamad.

“Masuklah.” Kataku. Pintu itu pun terbuka, dan betapa kagetnya aku, yang ada dihadapanku adalah Uwais!

“U..Uwais???” Aku menutup wajahku sekenanya. “Ka..Kau salah kamar, ini kamarku, Naqia. Kamar Zahira di sebrang sana, bukankah ada namanya di depan kamar?” Kataku menjelaskan. Kata Ibu dia akan menuliskan nama pasangan di depan kamar agar tak tertukar.

“Benarkah? Maaf kalau begitu.” Uwais kembali keluar. Hatiku berdegup kencang. Kenapa bisa begini? Maafkan aku, Hamad, malah Uwais yang pertama kali melihatku tanpa jilbab. Aku terduduk lemas. Seseorang mengetuk pintu lagi, kupersilahkan ia masuk.

“Maaf, tapi memang inilah kamarku.” Uwais kembali masuk. Aku terperanjat.

“A..Apa maksudmu?” Tanyaku.

“Nih lihat!” Uwais memperlihatkan karton bertuliskan Uwais dan Naqia di situ. “Ini nama kita, kan? Lagipula tadi aku memang menikahi wanita bernama Naqia Nabihah, kok!” Kata Uwais.

Aku tertegun, Uwais menikahiku? “Tunggu, tunggu. Tapi kata Zahira kau datang melamarnya.” Aku masih tak mengerti.

“Ya, aku memang datang melamarnya, tapi bukan untukku, untuk temanku, Hamad.”Jelasnya. Aku masih tak percaya, benarkah?

“Ini kartu nikah kita kalau kau tak percaya.” Kata Uwais memperlihatkan kartu nikah kami. Ya, di situ memang tertulis dengan jelas bahwa aku istrinya Uwais. “Kau pasti melamun waktu Zahira bercerita ya? Qia... Qia... Kau masih belum berubah ya!” Uwais mencubit pipiku. Aku tersenyum malu.

“Nah, mari kita ambil wudhu dan shalat!” Ajaknya. “Ini sebagai rasa syukur. Kau harus bersyukur punya suami sepertiku, kau senang kan menjadi istriku?” Katanya menggoda.

“Iya, iya. Tapi apakah kau juga senang?” tanyaku penasaran.

“Gak seneng sih.” Jawabannya membuatku kecewa. “Tapi senenggggggggggg banget.” Ucapan Uwais membuatku tersenyum malu –malu.

Uwais, ternyata nama ini yang tertulis untukku...
260714
KEY