Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Minggu, 04 Oktober 2015

Gerbang bernama Pernikahan

Menikah itu apa sih? Apakah ketika dua cinta bersatu? Atau sekedar peresmian pacaran? Hmmm...

Apa ya? Aku pun tak tahu harus menulis apa sebab belum memasuki gerbang itu. Baru  melirik-lirik saja malu-malu, sambil berbisik dalam hati, "Siapkah aku melangkah?" Karena sekali gerbang itu dimasuki, maka tak ada kata kembali lagi. Gerbang itu akan membawa kita menuju dunia yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Orang baru, lingkungan baru, perspektif baru. Semua serba baru.
Hasil gambar untuk animasi gerbang pernikahan
Melalui gerbang bernama pernikahan

Jadi...
Menurutku, sang calon pengantin (hehe), Menikah itu bukan tentang cinta manusia. Sungguh. Kalau tentang cinta manusia, maka biasanya yang jadi teladan itu Romeo- Juliet atau Laila-Majnun. Padahal mereka itu sama sekali tidak pernah menikah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah, bagaimana bersama dengan orang yang memuaskan hawa nafsu mereka atas nama cinta. Atas nama cinta pula, mereka rela mati. Ah, sungguh terlalu rendah bila menikah hanya karena cinta seperti ini.

Kau juga tahu kan, banyak mereka yang menikah atas nama cinta seperti ini lalu sebulan kemudian bercerai. Makannya, bagi kamu yang belum melangkahi gerbang ini, atau sudah berada di dalam gerbang pun, aku memiliki kisah indah untukmu. Tolong siapkan tisue di sampingmu, karena kamu pasti akan menangis mendengar kisah ini.

Kisah tentang wanita bernama Khadijah...

Khadijah adalah wanita sederhana dari daerah Baidho di Yaman. Ia sungguh wanita yang beruntung. Suaminya sangatlah lembut, romantis, dan perhatian. Pokoknya benar-benar sempurna! Tapi apa yang dikatakannya? Dengarkanlah..

"Tidak dengan mudah aku mendapat suami seperti ini..." Katanya mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengulang kisah masa lalunya..

"Awalnya kami menikah, suamiku memang baik dan romantis seperti yang kau lihat sekarang. Aku pun bersyukur menjadi istrinya. Kami menjalani rumah tangga dengan sangat bahagia." Ia menghela nafas panjang.

"Tapi suatu hari, suamiku tak juga pulang, padahal malam sudah sangat larut. Begitu khawatirnya aku hingga tak bisa tidur. Aku terus menunggunya pulang. Dan ketika malam sudah sangat-sangat larut, benarlah suamiku pulang dengan badan terhuyung-huyung. Ia masuk rumah lalu pingsan di depan pintu. Dan dari badannya kucium bau alkohol! Aku benar-benar terpukul, kupandang wajahnya yang sangat kusam itu, benarkah dia suamiku?"

"Aku tak tahu bagaimana di negaramu,tapi disini, lelaki merokok saja sudah merupakan aib besar, apalagi yang minum-minuman keras?!  Aku mencoba memaklumi dan hanya diam saja. Jika suamiku mau, dia pasti akan bercerita apa  yang sedang menimpanya. Subuh itu, aku shalat sendiri sebab suamiku tak bisa bangun. Ia bangun di siang hari lalu mengqodho shalat subuhnya. Tapi ia sama sekali tak mengatakan apapun tentang peristiwa semalam. Aku pun tak menanyakannya, kuharap itu malam terakhir ia seperti itu."

"Tapi ternyata tidak. Malam-malam selanjutnya pun ia terus seperti itu.Pulang dalam keadaan mabuk dan penampilan yang awut-awutan. Aku sama  sekali tak mengenalinya lagi, benarkah ia lelaki yang  kunikahi dulu? Aku sering menangis sendiri. Hingga akhirnya, suatu pagi suamiku bercerita,

'Maafkan aku, istriku. Aku sebagai suami adalah yang wajib menafkahimu, tapi aku ditipu. Aku bangkrut! Hartaku habis semua. Makannya kupakai untuk berjudi, tapi aku selalu kalah. Maafkan aku telah membuatmu khawatir. Tenang saja, aku pasti menafkahimu.' 

"Ketika dia berkata seperti itu, aku seolah menemukannya kembali. Aku senang dan berharap suamiku akan kembali seperti dulu."

"Tapi ternyata tidak. Ia tetap berkelakuan seperti itu. Pergi pagi, pulang malam dengan bau alkohol yang menyergak. Aku benar-benar tak tahan lagi. Akhirnya  kutemui beberapa ulama untuk meminta pendapat, semua berpendapat sama,

"Sekarang kau sudah boleh meminta cerai. Terserah anda, memilih untuk berpisah dengannya atau bersabar menghadapinya." 

"Aku memilih yang kedua. aku memilih untuk bersabar. Aku yakin pasti suamiku akan kembali seperti dulu. Maka kuputuskan untuk membantu suamiku dengan bekerja. Padahal di daerahku sangat jarang wanita yang bekerja. Aku membuat roti besar lalu menjualnya. Alhamdulillah usahaku lancar."

"Apakah suamiku berubah? Tidak. Ia malah semakin menjadi-jadi.setiap hari ia meminta uang untuk berjudi hingga uangku habis. Ia menggadaikan semua barang di rumah kami untuk betjudi, bahkan hingga cincin pernikahan kami... Ia ambil paksa dari jariku  hanya untuk berjudi!"

"Betapa kecewanya aku. Suamiku sudah benar-benar berubah menjadi orang lain. Aku sama sekali tak mengenalnya lagi. Kuputuskan bertanya lagi pada para ulama, dan jawaban mereka masih sama. Tapi ada seorang ulama yang berkata,

"Kau boleh memilih untuk meminta cerai atau bersabar.  Tapi jika kau memilih bersabar, teruslah do'akan suamimu agar bisa kembali ke jalan yang benar."

"Aku melupakan hal  itu. Berdo'a! Maka setiap malam, kudo'akan suamiku agar bertemu dengan orang yang mampu membimbingnya ke jalan yang benar. Aku terus bersabar dan berdo'a."

"Apakah ia berubah katamu? TIDAK. Ia bahkan tidak pernah pulang lagi selama sebulan ini. Hingga akhirnya berita ini diketahui orangtua kedua belah pihak walau keduanya berada di sisiku."

"Maafkan aku, Nak. Wanita sebaik dirimu tak pantas diperlakukan seperti ini.Aku akan mengurus perceraiannya." Kata mertuaku sambil menangis memelukku.

"Tidak," jawabku."Aku akan terus menunggu dan bersabar untuknya."

Mertuaku menangis,"Kau memang benar-benar wanita yang baik, Nak" Ia memelukku erat.

Bulan berikutnya pun, aku masih sendiri. Tiga bulan sudah suamiku tidak pulang. Tapi aku terus mendo'akan dirinya.

Hingga suatu hari, ada tangan yang menyentuhku ketika tertidur. Aku segera bangun dan melihat lelaki di hadapanku meneteskan air matanya. jenggot dan cambangnya sangat tak terurus, dialah suamiku!


"Apakah kau masih istriku?" Tanyanya.


"Tentu saja. Bukankah hanya kau yang berhak menceraikanku." Jawabku.

Ia segera memelukku erat, "Maafkan aku, istriku.. Maafkan aku.."

Aku pun tak kuasa menahan tangis, suamiku sudah benar-benar  kembali!

"Mari kita pindah ke Tarim, Hadramaut. Disana aku bertemu dengan Al-Habib Umar bin Hafidz yang mengajarkanku ketenangan diri. Aku benar-benar merasa senang berada di sana. Habib Umar memintaku tinggal disana untuk menjadi pembuat roti untuknya." Katanya.

Aku tersenyum senang. Perjalanan kami menuju Tarim yang selama berpuluh jam itu adalah perjalanan terindah bagiku,

Aku pun mengajarinya membuat roti, hingga sekarang ia menjadi pembuat roti Habib Umar seperti yang kau ketahui.

"Itulah kisahku.."


*kisah ini diambil dari buku "Muhasabah cinta"  oleh Halimah Alaydruss

2 komentar:

  1. ini memgingatkanku tentang DOA yg sering aku lupakan, Mil. TT.TT :'(
    *srrrooot*

    BalasHapus