Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Selasa, 05 Agustus 2014

Keluargaku edisi Mamah Kabur



Hai namaku Kamilatussyafiqoh binti Ahmad bin Muhammad bin Hasyim bin Umar bin.... (STOP!! Kalau gak diberhentiin bisa terus-terusan sampai generasi ke 50. Bahaya tuh ntar malah penuh buat silsilah doang  halaman ini). Aku anak ke 9 dari 12 bersaudara, keluarga yang cukup besar ya? Sebenarnya mungkin ada keluarga lain yang lebih besar dan hebat, tapi keluarga ini menjadi berbeda sebab ada Aku di sini, yang akan menuliskan beragam kisah keluarga kami. Inilah keluargaku...^^

“Mah, kenapa sih mamah gak minta cerai aja sama Aet?” Itu pertanyaan besar kami semua untuk Mamah.  Mamah itu wanita yang cantik, pasti banyak yang menyukainya. Selain itu mamah juga sabarrrr banget. Liat aja, meski hampir tiap hari berantem sama Aet (begitu panggilan untuk ayah kami. Sebenarnya seharusnya kami panggil Walid, tapi kakak-kakakku memanggilnya Aet jadi ya, itulah panggilan ayah kami) gara-gara hal sepele, Mamah tetap saja bertahan. Aet adalah pria yang keras, bedaaaaaa jauh dengan mamah.

Mamah hanya tersenyum, “Mamah sudah mengenal banyak lelaki, dan memang Aet lah yang paling cocok dengan mamah. Inilah yang  namanya jodoh.” Aku mengerutkan kening, bagaimana bisa?

“Tapi sewaktu muda, saat semangat Mamah masih menyala seperti kalian, Mamah pernah berusaha kabur.” Mamah tersenyum mengingatnya.

“Benarkah, bagaimana ceritanya?” Aku mendesak. Dan mengalirlah cerita itu dari mulut Mamah..

Aet tak pernah mempercayakan uangnya pada Mamah. Jadi tiap hari Aet akan memberi uang yang sangat nge-pas buat belanja, tak lebih. Sebagai istri, Mamah terima saja. Mamah tak pernah mengeluh karena Mamah tak berani. Tapi hari itu, Mamah ingin sekali makan bakso. Anak-anak sedang sekolah, lalu Mamah lihat di bagasi ada sepeda tak terpakai. Sepeda ini memang sudah rusak parah, tak bisa dibetulkan lagi, tapi Aet tetap menyimpannya. Dari dulu, Aet paling tak suka membuang barang miliknya meski sudah rusak. Tapi karena Mamah sangat ingin bakso, Mamah jual sepeda itu pada tukang rongsokan. Mamah menyembunyikan  hal ini dari Aet.

Tapi memang sepandai-pandainya kita menyembunyikan terasi, baunya pasti tercium juga. Di tengah jalan, Aet bertemu dengan tukang rongsokan  itu dan melihat sepeda yang ia kenal,

“Mang, itu sepeda dari mana ya?”Aet sengaja menghentikan vespanya dan bertanya.

“Dari si Ibu, istri Bapak.” Jawab tukang rongsokan itu, ia memang sudah mengenal Mamah dan Aet.

Aet pun segera menaiki motornya dan pulang. Aet marah sekali, ia sangat tak suka barangnya dijual dan kini istrinya melakukan hal itu tanpa bertanya dahulu padanya??!!

Sesampainya di rumah, mata Aet sudah tak lagi melihat apapun kecuali mencari Mamah. Ia segera ke kamar belakang tempat Mamah shalat. Ternyata Mamah baru saja selesai shalat bersama Encip,adikku.

PLAK!! Itu tamparan keras yang mendarat di pipi Mamah. Encip ketakutan sehingga hanya melihatnya dari pojok ruangan. Sedangkan Mamah, air matanya segera mengalir,

“Ke...kenapa?” Tanya Mamah.

“Kamu sudah mulai kurang ajar ya! Kamu jual sepeda itu,hah? Aet sudah bilang, jangan dijual!”

“Tapi, itu sudah rusak..” Mamah mencoba membela diri sambil menangis.

“Kalau tidak boleh ya tidak boleh!!!” Teriakan keras Aet membuat Mamah semakin menangis. Mamah lalu membereskan beberapa baju dan perlengkapan, ia mau kabur! Mamah sudah tak tahan. Ia kira Aet tak akan semarah ini hanya karena sepeda rusak! Hatinya benar-benar sakit.

Aet yang melihat Mamah merapikan barang itu menjadi khawatir. Ia baru sadar, ia telah melakukan sesuatu yang salah. Tak seharusnya ia semarah ini. “Nung..” Aet memanggil Mamah. “Mau kemana?” Suara Aet melunak.

“Mamah mau kabur, Et.” Jawab Mamahku. Dasar, Mamah memang polos, mau kabur kok bilang-bilang.

Aet terdiam. Ia memang tak bisa mengendalikan amarahnya, sedari dahulu inilah kekurangannya. Kalau sudah marah, Aet tak bisa mengendalikan tangannya, padahal ia tak bermaksud untuk memukul Mamah. Aet segera menyesal, tapi ia sungguh gengsi untuk meminta maaf.

“Mah, mau kemana?” Encip, anak kesepuluh Mamah yang hari itu dinobatkan sebagai anak bungsu, bertanya. Mamah tak menjawab. “Mah, ikut..” Encip merengek.

“Iya, Ayo!” Mamah pun membawa Encip, tanpa membawa baju-baju Encip. Setelah sampai ruang tengah, Mamah berpikir, hendak kabur kemana? Jidah (sebutan untuk nenek) tak tahu dimana, kalau kabur ke saudara pasti disuruh pulang lagi. Mamah tetap berjalan, berharap Aet meminta maaf dan ia tak perlu kabur. Sebab ia juga tak punya uang untuk kabur!

“Nung..” Aet menghampirinya ketika Mamah berada di teras depan rumah. “Aku.. minta maaf” Akhirnya kata itu keluar juga dari mulut Aet. Aet tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa Mamah? Tiap hari ia hanya perlu duduk dan makanan sudah tersedia. Lagipula siapa yang nanti akan mengurus anak-anak? Aet tak pernah mau tahu tentang ini.

Mamah diam, pura-pura jual  mahal, padahal hatinya bahagia. Akhirnya ia tak perlu kabur!

“Dimaafkan kan Nung?” Aet mendekati Mamah. Mamah hanya menjawab dengan anggukan. Aet tersenyum, lalu memegang tangan Mamah dan mencium keningnya..

“Mah, kita mau kemana?” Si kecil Encip bertanya.

“Ke dalam rumah. Ayo kita siapkan makan buat Aet.” Jawab Mamah. Mamah dan Aet tersenyum sementara Encip kebingungan, mau ke rumah aja kok harus bawa-bawa koper??

4 komentar:

  1. Haha, kayaknya kisah keluarga ente seru amat.. XD

    BalasHapus
  2. Xixixixi...pas kejadian itu saya ada tuuuh...ko ga diceritain milmil....kesian cipcip wkt itu pasti binun hahahah

    BalasHapus