Seorang lelaki duduk di atas
panggung. Dia baru saja datang dari Hadramaut, Yaman. Lulusan dari pesantren
ini juga, tapi ia mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Ahqaf,
berkat kecerdasannya. Yang kutahu, ia masuk Fakultas Syari’ah, tapi kudengar ia
juga menghafalkan Al-qur’an di sana. Entahlah, tapi yang jelas Uwais yang dulu
sudah jauh berbeda dengan Uwais yang sekarang. Selain janggutnya yang mulai dia
pelihara itu, sekarang Uwais semakin teduh dan berwibawa. Lihat saja, di acara
pertemuan alumni pesantren kami saja ia duduk di depan sebagai salah satu
pembicara. Walaupun aku hanya melihat dari layar besar di samping kanan tempat
duduk wanita, karena dihalangi hijab, tetapi kharismanya telah membuat kami
terdiam khusyuk mendengarkannya.
“Ya, mungkin Bang Uwais bisa
berbagi sedikit tips untuk kami yang akan segera terjun ke masyarakat ini.
Bagaimana caranya menjadi dai yang didengar, Bang? Eh, atau saya lebih pantas
panggil Syaikh Uwais ya?” Sang moderator menunduk pada Uwais sebagai tanda hormat.
“Ah, tidak. Dipanggil Bang saja,
saya masih Uwais yang dulu kok. Yaa.. selain janggut ini tak ada yang berbeda
dari saya.” Candaan Uwais membuat semua tertawa, termasuk aku. Ya, benar ini
memang Uwais yang dari dulu senang bercanda. Uwais yang dari dulu pun sudah
kukagumi.
“Baiklah, Bang Uwais.. Jadi
bagaimana nih agar lulusan pesantren ini bisa diterima di masyarakat?”
Moderator mengulang pertanyaannya.
Uwais tersenyum. “Sebenarnya saya
juga tidak pantas memberikan nasihat tentang ini, lha wong saya sendiri saja
belum diterima di masyarakat kok. Kemarin bahkan saya sempat dilempari telur.
Sampai sekarang baunya tak hilang.” Audiens yang merupakan lulusan baru
pesantren tertawa. Aku tahu kejadian itu dari temanku, bahkan katanya masuk
koran daerah.
Uwais tengah mengadakan
ceramah di daerah pelosok ketika itu untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw. Uwais tak tahu kalau ternyata
daerah ini sudah disusupi paham yang sangat membenci pujian terhadap Nabi saw.
Mereka melarang segala bentuk shalawat dan pujian untuk Rasulullah saw, karena
mereka menganggap itu adalah syirik, bisa membuat kita malah menyembah Rasul
seperti yang dilakukan kaum Nasrani.
Maka ketika Uwais menganjurkan
penduduk desa itu untuk memperbanyak berbagai shalawat dan membaca maulid,
salah satu penduduk berdiri dan berteriak, “Itu Bid’ah!!”
Uwais tentu saja kaget
mendengarnya, tapi ia berusaha mengontrol dirinya kemudian menanggapinya dengan
tenang, “Coba jelaskan pada saya, dimana letak bid’ah yang saudara maksud?”
tanya Uwais.
“Membaca shalawat, membaca
maulid, itu Bid’ah!” Pemuda itu masih berteriak. Majelis ta’lim menjadi semakin
tegang.
Uwais menarik napas dalam.
“Lho, kata siapa itu bid’ah. Bahkan itu berpahala karena Allah berfirman
‘Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya bershalawat atas Nabi, Wahai orang-orang
yang beriman bershalawatlah atas Nabi!’ Ini perintah dari Allah langsung loh.”
Jamaah mengangguk-angguk setuju dengan apa yang dikatakan Uwais.
“Ya, tapi itu hanya dengan
shalawat Ibrahimiyah yang diajarkan Rasul saw. Sedangkan shalawat lain seperti
Shalawat Nariyah atau Badriyah atau apalagilah namanya, itu tidak pernah
diajarkan Rasul! Ustadz sudah mengajarkan Bid’ah. Ingat ustadz, semua Bid’ah
itu sesat!” Pemuda itu menggebu-gebu.
Uwais mengangguk. “Kau sudah
menikah?” Uwais malah balik bertanya pada pemuda itu.
“Maksud Ustadz? Kok malah
bertanya seperti itu?” Pemuda itu kebingungan.
“Jawablah dahulu, nanti saya jelaskan.”
Pinta Uwais.
“Sudah.” Jawab pemuda itu.
“Lalu, kau memanggilnya apa?” Uwais
bertanya lagi. Pemuda itu mengerutkan kening dalam-dalam. “Jawablah, maka kau
akan mengerti.” Suruh Uwais. Jamaah yang lain juga mendesaknya menjawabnya.
Majelis ta’lim pun jadi semakin tegang.
“Be..Bebi.” Seluruh jamaah
tertawa mendengar jawaban pemuda itu. Mungkin maksudnya Baby, panggilan sayang
untuk seseorang, tapi pemuda yang logatnya sangat Sunda itu menyebutnya Baby
dengan sangat lucu. Muka pemuda itu merah menahan malu.
“Lalu, kalau kau panggil
istrimu dengan sebutan ‘bidadariku’ atau ‘rembulanku’, apakah berdosa?” tanya
Uwais.
“Ya.. tentu saja tidak! Itu
adalah hakku. Itu kan ungkapan.. sayang..” Muka pemuda itu makin merah, jamaah
yang lain malah makin menggodannya dengan menyurakinya.
“Begitu pula pujian kita untuk
Rasulullah saw. Bukankah beliau yang lebih patut kita cintai lebih daripada
cinta kita pada istri kita? Lalu apakah berdosa kita menyanjungnya sebagai
rembulan atau memuji akhlaknya yang agung dalam syair, atau menceritakan
mukjizatnya dalam kata yang indah sebagai bentuk cinta kita pada rasul saw?
Apakah itu berdosa?” Tanya Uwais.
Pemuda itu menunduk,
sepertinya kehabisan dalil. Tapi teman di sebelahnya, yang ternyata
komplotannya tak terima, ia melempar telur yang baru saja dibelinya di pasar
karena disuruh istrinya, tepat ke arah Uwais. Jamaah lain tak terima dengan
itu, hampir saja terjadi adu jotos. Untung saja panitia pelaksana bisa
melerainya sehingga tak terjadi hal yang tak diinginkan.
“Tapi yang jelas,” Uwais
melanjutkan jawaban atas pertanyaan sang moderator. “Kita harus tahu masyarakat
seperti apa yang akan kita selami. Jangan kita sama ratakan semua masyarakat.
Kadang ada masyarakat intelek yang harus kita buat tertarik dengan logika, ada
juga masyarakat yang tak bisa berbicara selain bahasa daerah mereka. Untuk yang
satu ini, kita harus bisa tahu dan paham bahasa dan budaya mereka.” Uwais berhenti sejenak, melihat lulusan
pesantren yang sangat berambisi seperti ini di hadapannya membuatnya rindu
masa-masa belajar.
“Dan yang terakhir,” Uwais
mengakhiri pembicaraannya, “Ingatlah, ilmu yang kita miliki kelak akan diminta
pertanggungjawabannya. Apakah kita amalkan dengan baik atau malah kita
sembunyikan? Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Semoga Adik-adik semua kelak
menjadi pelita-pelita yang menyinari negeri kita ini.”
Harapan Uwais diamini semua
alumni. Tepuk tangan yang meriah mengakhiri acara temu alumni kali ini. Begitu
banyak pelajaran yang bisa diambil, Aku sangat bersyukur bisa datang kesini.
Aku juga senang bisa melihat Uwais kembali, walau kali ini hanya lewat layar
itu. Kuharap, ia masih ingat denganku, temannya saat masih suka berbuat usil
dahulu.
Aku merapikan cadar-ku. Ya, sejak
lulus dari pesantren ini setahun silam,
aku sudah bertekad untuk menutup seluruh badanku, tanpa terkecuali. Ibu
dan ayah bahkan aku juga sempat khawatir, jika aku memakai cadar yang menutupi
seluruh tubuhku seperti ini, apakah akan ada lelaki yang melirik padaku? Bahkan
saudara-saudaraku pun kini agak menjaga jarak dariku, mereka bilang aku macam
hantu atau teroris.
Tapi, nasihat Ustadzah Hanina padaku
saat malam kelulusanku yang membuatku membulatkan tekad dan tak mempedulikan
omongan orang lain. “Naqia, Aku ingin berpesan padamu satu hal. Kau pernah
bertanya padaku kan apakah cadar itu wajib?” Aku mengangguk menanggapi
pertanyaan Ustadzah Hanina. Waktu pertama aku melihat Ustadzah Hanina memakai
cadar, aku menanyakannya, mengapa ia memakai cadar sedangkan ustadzah lainnya
tidak, apakah cadar itu wajib? Begitulah tanyaku waktu itu dan Ustadzah hanya
tersenyum sambil berkata, ‘Nanti akan Aku jelaskan jika waktunya sudah tepat’.
“Aku kira sekaranglah waktu yang
paling tepat untuk menjelaskannya. Kau sudah dewasa dan bisa mengambil
keputusan sendiri. Seandainya waktu itu Aku mengatakan wajib dan menyuruhmu
memakainya, Aku tak yakin kau masih bertahan hingga saat ini.” Ustadzah Hanina
mengambil nafas dalam-dalam. Aku mendengarnya dengan serius, aku memang sangat
ingin tahu tentang ini.
“Ulama berbeda pendapat tentang
ini. Kau pun sudah mempelajarinya kan?”
Aku mengangguk. Ya,aku tahu bahwa sebagian ulama ada yang mengatakan aurat
wanita adalah semua anggota tubuh tanpa terkecuali, ada juga yang mengatakan
kecuali yang biasa dilihat yaitu wajah dan telapak tangan. Aku sudah paham
betul tentang ini. “Kali ini Aku tak akan mendebatkan masalah itu. Ini adalah
tentang pendapatku pribadi.” Ustadzah memulai penjelasannya.
“Menurutku, cadar bukan sekedar
kewajiban, tapi ia adalah kebutuhan. Dengan menutupi seluruh tubuh ini, Aku
merasa sangat tenang dan damai. Aku juga ingin menjadi salah satu prajurit
Sayyidah Fatimah di akhirat kelak.” Aku mengerutkan kening mendengar kalimat
terakhir ustadzah hanina.
“Maksud Ustadzah?” Tanyaku.
Ustadzah Hanina tersenyum
menanggapinya, “Nanti di akhirat kelak, salah satu wanita yang melewati
shiratal mustaqim dengan lancar adalah Sayyidah Fatimah dan prajuritnya.
Tahukah kau siapa prajuritnya itu?” Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan
Ustadzah Hanina. “Mereka adalah wanita-wanita yang menjaga syariat dan
berpakaian sama dengan Sayyidah Fatimah. Merekalah yang diriwayatkan oleh para
sahabat bahwa mereka tak bisa dibedakan mana bagian depan atau belakang
mereka.”
Ustadzah Hanina menangis, “Apalah
arti amalku yang sedikit ini? Semoga dengan memakai cadar ini aku diakui
sebagai umat Rasulullah saw. Ya Rasul, hanya ini yang mampu kulakukan.
Terimalah aku sebagai umatmu.”
“Aamiin.” Aku mengamininya sambil
berderai air mata. Sejak saat itulah cadar menjadi pilihanku. Aku ingin seperti
Ustadzah Hanina.
Aku menunggu semua keluar
ruangan. Aku tak suka berdesak-desakkan.
“Qia, gak mau ikut ke Pesantren
dulu? Kita mau nostalgia nih.” Ajak Sarah, teman seangkatanku.
Aku menggeleng, “Tidak, syukron. Ana
harus segera pulang, kembaran Ana
pulang hari ini.” Jawabku. Memang, siang
ini kembaranku, Zahira akan kembali ke rumah setelah bertahun-tahun di negeri
Yaman. Sama seperti Uwais, adik kembarku juga mendapat beasiswa di sana,di
Fakultas Tarbiyah. Adik kembarku memang lebih pintar dan dewasa dariku. Dia
juga yang lebih dahulu pesantren di sini dan memakai cadar. Itu sebabnya meski
aku kakaknya karena lahir lima menit lebih awal, tapi Zahira adalah kakak
kelasku di Pesantren ini. Semua juga mengira dialah yang Kakakku dan aku
Adiknya. Ya, tak apalah, aku senang saja disebut sebagai adiknya, berarti aku
awet muda kan?
“Ohh.. titip salam buat Kak
Zahira ya! Kami duluan, Assalamu’alaikum!” Ucap Sarah.
“Wa’alaikumussalam.” Aku menjawab
salamnya. Sarah pun pergi bersama kawan yang lain setelah kami bersalaman.
Setelah semua keluar ruangan, aku
pun segera keluar ruangan. Aku harus melewati gang yang sempit untuk sampai ke
terminal Bus. Hari ini Ayahku tak bisa menjemput karena harus menunggu Zahira
di bandara, jadi aku harus pulang naik bus. Di tengah gang sempit yang hanya
cukup untuk dua orang itu, seseorang berdehem dari belakangku. Kontan saja aku
melihat ke belakang karena kaget, ternyata jarak selangkah dariku ada Uwais!
Jantungku berdegup kencang, apa yang harus kulakukan, apa ia berdehem agar aku
berjalan lebih cepat atau? Akhirnya aku hanya terdiam.
“Maaf, boleh saya lebih dahulu?
Tak elok rasanya saya berada di belakang akhwat.” Katanya sopan.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku
hanya mengangguk. Ia pun berjalan melewatiku begitu saja. Ah, tak tahukah dia bahwa yang
dilewatinya adalah sahabat karibnya selama SMP? Sahabat yang membantunya menjaili
guru agama kami dengan memberikan katak kecil di tempat kapur? Atau membelanya
ketika ia membuat teman perempuan sekelas kami menangis karena kecoa yang kami
tangkap dengan mengatakan bahwa kami hanya berusaha membuang kecoa itu? Atau
yang sama-sama dijemur di bawah terik matahari karena tak ikut upacara bendera
dan malah membuat seluruh peserta upacara tertawa melihat celana sang pembawa
bendera yang kami bolongi?
Uwais dan Aku tak akan pernah
menyangka kami akan seperti ini. Ia tumbuh dengan pesat, sedangkan aku sama
sekali tak jauh beda. Selain cadar yang kukenakan, tak ada yang berubah dariku.
Aku masih Naqia yang bodoh. Aku berandai-andai, sekiranya aku tak mengenakan
cadar ini, mungkinkah Uwais tadi mengenaliku dan menyapaku? Aku menggeleng.
Inilah pilihanku dan Aku tak akan pernah melepasnya sepanjang hidupku!
Di rumah, ternyata Zahira sudah
sampai. Aku segera memeluknya haru. Aku sungguh merindukannya. “Kok gak pernah
kirim kabar? Kangen tau!” Aku mencubit pipinya
yang merah merona itu.
“Ira takut gak fokus belajar,
Kak. Jadi Ira gak pernah kirim surat atau baca surat dari rumah. Surat-surat
yang kakak kirim baru saja Ira baca di pesawat. Ayo kakak ngaku, siapa sih
pangeran yang kakak kagumi itu?” Zahira menggodaku di depan kedua orangtua
kami. Aku jadi salah tingkah, kututup mulutnya.
“Ssst.. nanti Ayah dan Ibu mau
tahu lagi.” Kataku.
“Ayo ngomongin apa sampai Ayah
dan Ibu gak boleh tahu?” Ibu memeluk kami dari belakang.
“Ahh, tidak.. Ra, ke kamar yuk!
Pasti capek.” Aku menggaet tangan Zahira. Dasar Zahira, kalau Ayah dan Ibu
tahu, bisa panjang urusannya!
Zahira terus mendesakku untuk
bercerita tentang seseorang yang kukagumi. Aku hanya tersenyum, malu untuk
mengatakan bahwa aku mengagumi Uwais yang dulu selalu kuejek si kecil karena
ukuran tubuhnya yang kecil bila dibandingkan teman laki-lakinya. Namun sekarang
ia bahkan terlihat sangat gagah dan.. cukup tampan.
“Dia kuliah di Hadramaut juga, ya?” Zahira bertanya
sambil merebahkan tubuhnya ke kasur. Aku mengangguk malu-malu. “Ustman?” Zahira
menyebutkan nama lelaki yang juga mendapat beasiswa ke Hadramaut. Aku
menggeleng.
“Ali?” tebaknya lagi. Kujawab
lagi dengan menggeleng.
“Hmmm...” Zahira berpikir keras.
Aku ikut tiduran.
“Sudahlah, ini tak penting kok.
Tidur saja sana, kau pasti lelah sekali.” Kataku. Zahira tak merespon. “Ra,
tadi orang itu datang ke acara temu alumni. Dia... sangat berwibawa. Aku sangat
ingin kelak suamiku seperti itu..” Aku mengeluarkan isi hatiku. Tapi aneh, kali
ini Zahira hanya diam saja, aku bangun dan melihat Zahira, ternyata dia sudah
tidur! Ya Allah, berarti tadi aku berbicara sendiri? Aku tersenyum malu-malu.
Ah, biarlah hanya Allah yang tahu
rahasia hatiku.
Minggu selanjutnya keluargaku
dikagetkan dengan kedatangan seorang ulama besar kota kami. Dia memiliki
majelis ta’lim yang cukup besar. Bahkan akhir-akhir ini sering terlihat di
televisi sebagai penceramah. Awalnya kukira mereka hanya ingin bertamu seperti
kebanyakan ulama yang mampir ke rumahku. Ayahku memang cukup terkenal sebagai
pengusaha baju muslim yang berkualitas, banyak ulama yang menyukai pakaian
Ayah. Tapi ketika aku diminta untuk ikut melayani tamu, hatiku sedikit
berdebar. Untuk apa?
“Qia, duduklah dahulu disini.”
Ayah memintaku duduk di sebelahnya. Aku menurut saja, kutundukkan pandanganku
walaupun cadar sudah menutupi wajahku. “Ini Kiayi Naufal, kau kenal kan?” Tanya
Ayah.
Aku mengangguk malu. “Tentu saja
aku tahu, Ayah. Aku sering melihatnya di televisi.” Jawabku. Kiayi Naufal dan
pemuda di sebelahnya tersenyum.
“Baguslah kalau begitu. Kiayi
Naufal ingin memintamu menjadi menantunya.” Ucapan Ayah membuat dadaku berdegup
kencang. Bagaimana mungkin? “Beliau mengagumi tulisan-tulisanmu di koran
nasional.” Sambung Ayah. Aku memang senang menulis artikel untuk salah satu
surat kabar nasional sehingga akhirnya aku direkrut menjadi pengisi salah satu
kolom di situ.
“Kalau begitu, bisakah kau buka
cadarmu agar anakku bisa melihatmu dan kau pun melihatnya?” Tanya Kiayi Naufal.
Aku mengangkat wajahku perlahan.
Kulihat pemuda di depanku, gagah dan berwibawa. Kudengar ia lulusan pesantren
yang kemudian kuliah di Jakarta. Dia sudah menorehkan beberapa prestasi yang
mengagumkan sehingga dinobatkan sebagai pemuda Inspirator Indonesia. Aku
menatap Ayahku ragu, Ayah hanya mengangguk tanda setuju. Kubuka cadarku, dan
aku menatap pemuda itu sekali lagi, ia tersenyum padaku.
“Bagaimana Naqia? Apa pendapatmu
tentang anakku, Kamal?” Tanya Kiayi Naufal. Aku hanya menunduk, malu sekali
rasanya untuk mengatakan sesuatu.
“Wanita pasti malu jika
ditanyakan hal semacam itu. Diamnya seorang anak gadis adalah setuju, bukankah
begitu?” Ayah membuatku semakin malu. “Nak Kamal sendiri bagaimana?” Ayah balik
bertanya pada Kamal.
“Aku.. setuju.” Ucapan Kamal
membuat jantungku berdebar kian hebat. Anak seorang kiayi besar menyukaiku?
Kedua orang tua saling tersenyum,
“Kalau begitu minggu depan aku akan datang bersama keluarga besar untuk
mengkhitbah Naqia secara resmi.” Kiayi Naufal mengakhiri pertemuan itu.
Aku tak bisa tidur semalaman.
Apakah benar Kamal itu jodohku? Aku tenggelam dalam sujud shalat malamku. Namun
tiba-tiba seseorang membangunkanku, “Istriku, bangunlah..” kata suara itu.
Mataku tak bisa terbuka padahal aku ingin melihat siapa yang membangunkanku
itu.
“Istriku, ayo bangun!” Suaranya
lembut penuh wibawa. Aku kenal suara ini. Ini suara orang yang berbicara di acara
temu alumni. Ini suara Uwais! Kenapa ia memanggil aku istrinya?
“Istriku, Ayolah Bangun!” suara
itu muncul lagi. Tapi sekuat apapun aku ingin membuka mata, tetap saja tak
bisa. Hingga akhirnya kugunakan kedua tanganku untuk membukanya sekuat tenaga
dan..
“IRA!” Aku kaget melihat Zahira
di hadapanku sedang mengguncang-guncang badanku.
“Iya, Kau kira siapa? Kamal?
Kalau begitu ayolah bangun istriku..” Zahira meledek sambil mengedipkan
matanya. Ternyata aku tadi hanya mimpi. Tapi, mengapa suara itu mirip.. suara
Uwais?
Keluarga besar Kiayi Naufal
benar-benar datang pada hari yang dijanjikan. Kami pun menyambutnya dengan
hangat walaupun masih ada sedikit ganjalan di hatiku. Tapi aku menangkisnya,
bukankah tak ada mudharatnya aku menerima Kamal sebagai suamiku?
“Ohya bolehkah aku minta satu hal
pada Naqia?” Tanya Kamal di tengah perbincangan kami.
Aku mengerutkan kening, “Apa itu,
Kak?” tanyaku.
“Jika kelak kau sudah menjadi
istriku, maukah kau untuk melepas cadarmu? Aku tak ingin istriku bercadar,
cukup berjilbab saja.” Kata-kata Kamal membuatku terhenyak. Apa katanya?
Melepas cadar ini?! Susah payah aku berusaha membuat diriku sendiri percaya
diri dengan cadar dan mengatakan bahwa cadar tak menghalangi jodoh seseorang, tapi
kini calon suamiku ingin aku melepasnya?
Haruskah aku menurutinya?
Bukankah syurga seorang istri ada pada suaminya? Atau aku menolaknya dan
kesempatan untuk menjadi menantu seorang pemuda luar biasa ini lewat begitu
saja? Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Jika aku tak mau?” Pertanyaanku
membuat kedua belah pihak keluarga tegang. Padahal tadinya sangat cair.
“Aku tak mau beristrikan wanita
bercadar.” Jawab Kamal. Aku mengerti maksudnya.
“Kalau begitu kenapa tak bilang
dari awal pertemuan kita?” Aku sedikit marah. Kalau tahu begini aku tak perlu
memperlihatkan wajahku padanya!
“Karena kupikir kau akan mau jika
kuminta kau buka cadarmu untuk menjadi istriku.” Kamal menjawab sedikit
sombong.
“Kalau begitu, maaf. Aku tak akan
pernah melepas cadarku.” Kupakai kembali cadar yang kutanggalkan.
Pertemuan hari itu membuatku
sakit hati. Bagaimana bisa Kamal mempermainkanku seperti ini? Meski Kiayi
naufal sudah meminta maaf dan Ayah sudah memaafkan, tapi sakit hatiku masih
membuatku menangis di dalam kamar sendirian.
Apakah cadar ini penghalang
jodohku?
Ayah dan Ibu berusaha menghiburku
begitupula Zahira, mereka bilang lelaki tak hanya Kamal, masih banyak lelaki
lain di dunia ini. Aku tahu, aku sangat faham itu. Yang aku tak terima adalah,
mengapa Kamal tega mempermainkan hatiku? Mulai saat itu, tiap kali Ayahku
menyinggung tentang pernikahan, aku tak menggubrisnya, aku masih trauma dengan
lelaki. Ah, mungkinkah Uwais juga seperti Kamal? Hei, kenapa aku malah
memikirkan orang itu?
Sebulan lamanya aku menyimpan
sakit hati ini, kutolak segala macam orang yang datang mengkhitbahku. Mereka
semua sama, tak mau memiliki istri bercadar! Memang apa salahnya dengan cadar
ini? Bukankah ini semakin membuatku istimewa? Dasar lelaki tak tahu selera!
“Nak, ada seseorang yang ingin
melihatmu.” Kata Ibu setelah masuk ke kamarku dan duduk di samping tempat
tidurku.
“Aku tak mau, Bu. Tuh, suruh Zahira saja yang menikah duluan.” Jawabku singkat. Ibu hanya mengambil nafas
dalam-dalam.
“Memang ada dua pemuda yang
datang ke sini untuk melihatmu dan Zahira.” Kata Ibu. “Zahira sudah setuju,
tinggal dirimu, Nak.” Lanjutnya.
“Kalau begitu, pinta Zahira untuk
memutuskannya. Terserah pemuda itu mau atau tidak, tapi aku tak mau
memperlihatkan wajahku padanya. Dan katakan pada pemuda itu aku tak akan melepas
cadarku hanya untuk menikahinya!” aku berbicara panjang lebar.
“Kenapa kau tak mengatakannya
sendiri?” Tanya Ibu.
“Aku masih sakit hati, Bu.
Kalaupun pemuda itu tak mau, terserah!” aku kembali menenggelamkan kepalaku ke
bantal. Ibu hanya menggeleng saja melihatku lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Malamnya, Zahira masuk ke kamarku
dengan sumringah. Wajahnya ceria sekali.
“Kak, kita akan menikah di waktu
yang sama!” Katanya.
Aku menanggapinya dingin, “Jadi
pemuda itu mau menikah denganku?” Zahira mengangguk. “Memangnya siapa dia?” Aku
jadi penasaran. Mengapa dia mau menikah denganku meskipun tidak melihat
wajahku?
“Kau pasti menyesal tak
melihatnya tadi.Uwais datang melamarku!” Ucapan Zahira membuatku kaget. Uwais?
Aku tak mendengar perkataan Zahira lagi, entah mengapa hatiku rasanya sakit
sekali. Uwais akan menikahi Zahira? Ya Allah, mengapa harus Zahira? Air mataku
turun tanpa kupinta. Zahira yang melihatku menangis menjadi heran.
“Kak, temannya Uwais juga hebat
kok. Gak kalah sama Uwais, tenang saja.” Katanya menghibur. Aku menelan ludah.
Jadi jodohku adalah temannya Uwais?
“Siapa?”Tanyaku.
“Siapa apanya Kak?” Zahira balik bertanya.
“Nama teman Uwais?”
“Hamad. Kakak ternyata penasaran
juga ya! Makannya jangan sok deh, tadi pagi aja disuruh liat gak mau. Tapi
kakak kan udah tahu Uwais, jadi tak apalah. Aku tidur dulu ya Kak, sudah
malam.” Zahira meninggalkanku sendiri.
“Ohya Kak, akad nikah akan
diselenggarakan minggu depan, sekalian acara khataman Al-qur’an di majelis
Uwais.” Zahira menambahkan saat akan keluar kamar.
Aku tak percaya ini. Aku akan
menikahi Hamad, yang entah bagaimana orangnya, sedangkan adikku Zahira menikahi
orang yang sangat kukagumi? Aku mengelus dadaku. Inilah yang namanya jodoh, lagipula Uwais memang lebih cocok dengan Zahira, sama-sama pintar dan dewasa.
Aku harus menerima kenyataan ini.
Hari berganti hari, akhirnya
acara akad nikah sederhana kami akan dimulai juga. Kami tidak disatukan di
depan penghulu, hanya Uwais dan Hamad yang mengucapkan akad nikah di depan
penghulu,sedangkan aku dan Zahira menunggu suami kami di kamar masing-masing.
Rencananya resepsi akan kami laksanakan
esok hari, jadi hari ini hanya akad saja.
Hatiku berdebar tak keruan.
Seperti apa Hamad kelak, apakah ia segagah Uwais? Apakah ia memiliki wibawa
seperti Uwais? Atau sepintar Uwais? Aku menggeleng! Mana mungkin aku
membandingkan suamiku dengan lelaki lain, itu tak patut. Hamad, pasti yang
terbaik untukku. Samar-samar kudengar dari speaker yang terpasang di depan
rumah kami, seseorang melafalkan akad nikah,
“Zawajtuka wa nakahtuka bi
bintiy, Naqia Nabihah bi mahrin khomsi miah rubiah” Itu pasti suara Ayahku.
Memang tak jelas sih suaranya, tapi ini kan lafadz yang diucapkan wali, jadi
ini pasti ayahku.
“Qobiltu nikahaha bi mahrin
madzkur.” Suara itu tegas tanpa terputus. Akad itu diulang sebanyak 3 kali
untuk memastikan bahwa akad ini benar-benar sah. Begitupun yang dilakukan pada
Zahira. Aku menangis, sah sudah aku menjadi istri Hamad. Aku berusaha memasang
wajah ceria untuk meyambut suamiku. Aku akan berusaha menjadi istri terbaik
untuknya.
Aku mendengar keramaian dari
luar, ah pasti Hamad dan Uwais sudah datang. Aku bersiap, kurapikan pakaian dan
dandananku sekali lagi, kebaya putih yang kukenakan membuatku malu sendiri, aku
tak pernah merasa secantik ini.
Tok..tok..tok.. seseorang
mengetuk pintu. Itu pasti Hamad.
“Masuklah.” Kataku. Pintu itu pun
terbuka, dan betapa kagetnya aku, yang ada dihadapanku adalah Uwais!
“U..Uwais???” Aku menutup wajahku
sekenanya. “Ka..Kau salah kamar, ini kamarku, Naqia. Kamar Zahira di sebrang
sana, bukankah ada namanya di depan kamar?” Kataku menjelaskan. Kata Ibu dia
akan menuliskan nama pasangan di depan kamar agar tak tertukar.
“Benarkah? Maaf kalau begitu.”
Uwais kembali keluar. Hatiku berdegup kencang. Kenapa bisa begini? Maafkan aku,
Hamad, malah Uwais yang pertama kali melihatku tanpa jilbab. Aku terduduk
lemas. Seseorang mengetuk pintu lagi, kupersilahkan ia masuk.
“Maaf, tapi memang inilah
kamarku.” Uwais kembali masuk. Aku terperanjat.
“A..Apa maksudmu?” Tanyaku.
“Nih lihat!” Uwais memperlihatkan
karton bertuliskan Uwais dan Naqia di situ. “Ini nama kita, kan? Lagipula tadi
aku memang menikahi wanita bernama Naqia Nabihah, kok!” Kata Uwais.
Aku tertegun, Uwais menikahiku?
“Tunggu, tunggu. Tapi kata Zahira kau datang melamarnya.” Aku masih tak
mengerti.
“Ya, aku memang datang
melamarnya, tapi bukan untukku, untuk temanku, Hamad.”Jelasnya. Aku masih tak
percaya, benarkah?
“Ini kartu nikah kita kalau kau
tak percaya.” Kata Uwais memperlihatkan kartu nikah kami. Ya, di situ memang
tertulis dengan jelas bahwa aku istrinya Uwais. “Kau pasti melamun waktu Zahira
bercerita ya? Qia... Qia... Kau masih belum berubah ya!” Uwais mencubit
pipiku. Aku tersenyum malu.
“Nah, mari kita ambil wudhu dan
shalat!” Ajaknya. “Ini sebagai rasa syukur. Kau harus bersyukur punya suami
sepertiku, kau senang kan menjadi istriku?” Katanya menggoda.
“Iya, iya. Tapi apakah kau juga
senang?” tanyaku penasaran.
“Gak seneng sih.” Jawabannya
membuatku kecewa. “Tapi senenggggggggggg banget.” Ucapan Uwais membuatku
tersenyum malu –malu.
Uwais, ternyata nama ini yang
tertulis untukku...
260714
KEY