Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Rabu, 15 Januari 2014

Hal-hal yang Diharamkan Bagi Wanita Haidh dan Nifas


I.                    Pendahuluan
Wanita haidh atau nifas haram melakukan sesuatu yang juga diharamkan bagi orang yang berhadats kecil, yaitu:
1.      Shalat
2.      Thawaf
3.      Memegang Mushaf
4.      Membawa Mushaf
Dia juga haram melakukan yang dilarang bagi orang yang junub, yaitu empat perkara di atas ditambah:
1.      Berdiam diri di masjid
2.      Membaca Al-Qur’an dengan berniat membaca Al-Qur’an
Dan ditambah lagi keharaman bagi wanita haidh dan nifas dengan perkara-perkara berikut:
1.      Puasa
2.      Talak
3.      Melewati masjid jika takut mengotori masjid
4.       Mubasyaroh diantara pusar dan lutut
5.      Bersuci dengan niat ibadah
Dan semua perkara tersebut akan segera dijelaskan pada sub bab berikutnya.
II.                  Shalat
Haram bagi orang  yang haidh shalat, baik fardu maupun sunah,  ataupun shalat jenazah, atau sujud tilawah, sujud syukur,dsb. Dalam masalah ini ada dua perkara amat penting yang harus dijelaskan, yaitu: a. Datangnya pencegah, b. Hilangnya pencegah. Maksud dari pencegah disini adalah sesuatu yang membuat seseorang tidak boleh melaksanakan shalat, seperti haidh, nifas, hilang akal, atau pingsan.
a.      Hilangnya pencegah
Jika seorang wanita suci dari haidh atau nifas sebelum keluar waktu shalat, walaupun hanya seukuran waktu yang mencukupi untuk takbiratul ihram, dia wajib mengqodo shalat tersebut dengan dua syarat:
1.      Tetap dalam keadaan bebas dari pencegah seukuran waktu yang mencukupi untuk bersuci dan melaksanakan syarat-syarat shalat (menutup aurat, menghadap kiblat, dsb)
2.      Tetap dalam keadaaan selamat dari pencegah seukuran waktu yang mencukupi melaksanakan shalat tersebut seringan mungkin.

Dan wajib juga baginya qodo shalat yang sebelumnya jika shalat tersebut bisa dijama’ dengannya, seperti dzuhur dan ashar, dan magrib bersama isya dengan tambahan syarat: tetap selamat dari pencegah seukuran dua shalat tersebut seringan mungkin.

Untuk lebih jelasnya, kami berikan beberapa contoh:
·         Misalnya seorang wanita haidh suci 5 menit sebelum waktu ashar berakhir, maka ia wajib mengqodo shalat ashar dan dzuhurnya jika memenuhi syarat-syarat di atas.
·         Misal kedua: seorang wanita suci dari haidh 5 menit sebelummagrib, kemudian 15 menit setelah magrib ia pingsan (pencegah). Maka ia tetap wajib mengqodo shalat dzuhur dan asharnya karena waktu sebelum ia pingsan mencukupi untuk bersuci, melaksanakan syarat shalat, dan shalat seringan mungkin.
b.      Datangnya pencegah
Jika seorang wanita mengalami haidh atau nifas di awal waktu shalat atau di pertengahan waktu shalat dan belum melaksanakan shalat tersebut, maka wajib ketika ia suci untuk mengqodo shalat tersebut dengan syarat: Wanita tersebut menemui waktu yang memungkinkan melakukan shalat tersebut sebelum datangnya haidh, ditambah dengan waktu yang mencukupi untuk thaharah jika tidak dimungkingkan untuk bersuci sebelum waktu shalat (thaharah darurat)

Inilah beberapa pemisalannya:
·         Misal pertama: seorang wanita mengalami haidh 15 menit setelah masuk waktu dzuhur, dan ia belum melaksanakan shalat tersebut. Maka wajib baginya mengqodo dzuhur, karena ia menemui waktu yang mencukupi untuk melakukan shalat tersebut.
·         Misal kedua: jika seorang wanita haidh bersamaan dengan masuknya waktu ashar, maka ia tak wajib mengqodo shalat tersebut, karena ia tak menemui waktu yang mencukupi untuk melaksanakan shalat.

III.                Thawaf
Haram bagi orang yang haidh dan nifas untuk melaksanakan thawaf di Ka’bah. Adapun dalilnya adalah:
1.      Sabda Rasulullah saw: “Thawaf sama kedudukannya seperti shalat, hanya saja Allah memperbolehkan bebicara dalam thawaf.” (HR. Tirmidziy)
2.      Dan diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Sayyidah Aisyah ra.: “Sesungguhnya Rasul saw bersabda kepadanya ketika Sayyidah Aisyah haidh di dalam haji: ‘lakukanlah semua yang dilakukan orang yang berhaji, selain thawaf di Ka’bah’”
3.      Ulama telah bersepakat atas keharaman thawaf atas wanita haidh dan nifas. Dan tidak sah bila dia mengerjakan thawaf, baik fardu maupun sunah. Maka selain itu, dia tidak dilarang melakukan manasik haji.

IV.               Memegang  dan membaca mushaf
Haram atas orang haidh dan nifas memegang dan membawa Mushaf berdasarkan firman Allah :
Artinya: Tidaklah menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci ( Al-Waqiah:79)
Dan juga berdasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidaklah memegang Al-Qur’an kecuali orang suci.” (HR. Daraqatni dan Hakim)
Yang dimaksud mushaf disini adalah: semua yang ditulis untuk membaca Al-Qur’an, walaupun hanya sebagian ayat yang mampu memahamkan. Dan haram pula memegang Al-qur’an, meskipun hanya kainnya.

Ada 3 hukum dalam membawa Mushaf:
1.      Boleh membawa Mushaf dan barang-barang lainnya, jika berniat membawa barang saja.
2.      Jika membawa barang bersama Mushaf, dan hanya berniat membawamushaf saja, maka haram.
3.      Jika berniat membawa barang dan Mushaf atau tidak berniat apa-apa, maka boleh menurut Imam Romli dan haram menurut Imam Ibnu Hajar.

V.                 Berdiam diri di masjid
Haram atas wanita haidh dan nifas untuk berdiam diri di masjid, berdasarkan sabda Rasul saw “Sesungguhnya aku tidak memperbolehkan masjid bagi orang yang haidh dan junub.”(HR. Abu Dawud)

Begitupula mondar-mandir di dalam masjid, maka itu adalah haram karena menyerupai berdiam diri.

VI.               Membaca Al-Qur’an dengan niat membacanya
Haram bagi orang yang haidh dan nifas untuk membaca Al-Qur’an berdasarkan sabda Rasululllah saw: “Tidaklah orang yang  junub dan haidh itu membaca sesuatu pun dari Al-qur’an.” (HR. Tirmidzi)

Tetapi keharaman ini dengan dua syarat:
1.      Memang berniat membaca Al-Qur’an saja atau berniat membaca Al-Qur’an dan yang lainnya. Oleh karena itu jika tidak berniat membaca Al-Qur’an, misalnya bermaksud dzikir, atau menasehati, atau berkisah, dan tidak berniat bersama itu semua untuk membaca Al-Qur’an, maka diperbolehkan.
2.      Adanya membaca Al-Qur’an tersebut dengan suara yang dapat didengar oleh dirinya sendiri. Maka tidaklah haram untuk membaca Al-Qur’an di dalam hati selama tidak mengeluarkan suara, atau melihat mushaf selama tidak mengucapkannya.

Dan ulamabersepakat atas kebolehan dalam bertasbih, bertahlil, dan semua dzikir selain Al-Qur’an bagi orang yang haidh.

VII.             Puasa
Semua ulama  bersepakat atas keharaman puasa bagi wanita yang haidh dan nifas, dan jika mereka puasa maka tidak sah.

Dalil atas  keharaman puasa ialah Hadist Aisyah ra yang diriwayatkan Muslim, bahwa beliau berkata, “Kami diperintahkan untuk mengqodo puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodo shalat.” Ini dalil bahwa mereka tidak puasa.
VIII.           Talak
Haram menceraikan wanita yang haidh berdasarkan firman Allah swt yang artinya: “Wahai Nabi, jika kamu hendak menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada masa idah mereka, dan hitunglah masa iddah.”

Makna ayat tersebut adalah jika seorang suami ingin menceraikan istrinya, maka hendaknya menceraikan mereka saat mereka suci yang tidak berhubungan pada masa suci tersebut. Adapun maksud menghitung iddah ialah agar bisa kembali rujuk di massa iddahnya.

Maka ketika Ibnu Umar menceraikan istrinya yang sedang Haidh, Rasulullah saw memeintahkannya untuk rujuk dan menunda perceraian hingga suci. Adapun alasannya ialah, wanita haidh akan mengalami iddah yang lama bila dicerai. Begitu pula haram bagi suami menceraikan istri pada masa suci yang ia berhubungan dengannya.

Tetapi wanita haidh tidaklah haram menggugat cerai jika ia memberikan sejumlah harta untuk gugatannya. Kalau tidak memberikan sejumlah harta, maka haram.

IX.                Melewati masjid jika takut mengotorinya
Haram bagi orang yang haidh atau nifas untuk melewati masjid jika takut mengotori masjid, walaupun hanya prasangka, untuk menjaga kesucian masjid.

Disamakan dengan orang yang haidh dan nifas yaitu semua orang yang berhadast yang ditakutkan mengotori masjid, jika tidak mengotori masjid, maka hukumnya makruh.

X.                  Mubasyaroh antara pusar dan lutut
Ulama bersepakat atas keharaman suami mendatangi istrinya yang sedang haidh berdasarkan firman Allah swt yang artinya:
“dan mereka bertanya padamu tentang wanita haidh. Katakanlah itu adalah kotoran, maka jauhilah wanita yang haidh, dan jangan mendekatinya sampai ia suci. Maka jika dia telah suci, datangilah mereka dari arah yangdiperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.” (Al-baqarah:222)
Dan banyak pula Hadits shahih yang menerangkan hal ini. Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa yang melakukannya, maka ia telah melakukan dosa besar.

Begitupula haram bagi suami untuk mubasyarah dengan istrinya yang haidh di antara pusar dan lutut. Sesuai dengan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Baihaqi, beliau ra berkata: Aku bertanya pada Rasulullah saw apa yang boleh bagi suami untuk istrinya yang sedang haidh? Rasulullah saw menjawab: “Yang ada di atas sarung”

Dan di dalam hadits dari Aisyah ra, beliau berkata: “Jika ada salah satu dari kami (istri-istri Rasul saw) haidh, dan Rasulullah ingin menyentuhnya, maka beliau menyuruhnya memakai sarung di awal haidhnya. Kemudian menyentuhnya. Lalu Aisyah ra berkata, ‘mana di antara kalian yang memiliki hajatnya sebagaimana Nabi saw memiliki hajatnya.”

Namun ulama berpeda pendapat, Apakah yang haram adalah mubasyarah (bersentuhan) atau istimta’ (bersenang-senang):
·         Berkata sebagai ulama bahwa yang haram adalah Mubasyarah. Berdasarkan hal itu, maka haram menyentuh (kulit bertemu kulit) antara pusar dan lutut, sama saja dengan syahwat maupun tidak. Jika hanya memandang, maka tidak haram walaupun dengan syahwat.
·         Sebagian lagi berkata yang haram adalah istimta’. Oleh karena itu haram melihat dan memegang jika dengan syahwat.

XI.                Bersuci dengan niat ibadah
Jika seorang wanita haidh, maka haram baginya untuk bersuci dengan niat ibadah bersama tahunya dia bahwa hal tesebut tidak sah, maka dia berdosa, karena ia dianggap meremehkan syariat agama. Bersuci yang dimaksud adalah mandi besar ataupun wudhu. Adapun bersuci yang sunah seperti mandi untuk ihram, wuquf, dan melempar jumrah, maka sunah juga bagi orang yang haidh.


Sumber:
Kitab Al-Ibanah Wal Ifadhoh, Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Assegaf

1 komentar:

  1. Afwan.. boleh dibahas semua babnya tidak, MaaSyaaAllah jazakillah ahsanal jaza yaa ukhty... Sangat bermanfaat, tapi ana ingin mempelajari semua babnya syukron 🙏

    BalasHapus