Welcome!!
Kamis, 03 Juli 2025
TUMBAL
Kamis, 20 Maret 2025
Ramadhan Bercerita
Kemarin Ramadhan bercerita,
Malam-malam kau sibuk bercanda dengan bulan
Sahur terlupakan,
Hidangan surga terabaikan..
Kemarin Ramadhan bercerita,
Hari-hari kau dan ponsel terus dalam gurauan,
Lupa bertegur sapa dengan Tuhan,
Sekedar gerakan rutin sebagai tuntutan,
Itupun di akhir waktu, sekejap bak kilatan
Kemarin Ramadhan bercerita,
Menangis sebab panggilannya tak kau gubris
Kecewa sebab pelukannya kau tangkis
Marah sebab cintanya kau buat amis
Kemarin Ramadhan bercerita,
Meski di sisa umur yang tak seberapa
Ia menunggu kau sapa
Dengan hati tanpa cela
Bukan sekedar bualan belaka
Kemarin Ramadhan bercerita,
Apakah kau tak dengar?
Apakah kau tak lihat?
Apakah kau tak rasa?
Atau memang,
Kau sudah mati?
Cirebon,20 Ramadhan 1446H
@albinyahya
Selasa, 04 Maret 2025
Nasihat Ulama
Bismillahirrahmanirrahim
Saya tak lagi berani mengatakan nasihat-nasihat sebab sepatutnya saya lah yang diberi nasihat. Maka kali ini saya akan sampaikan nasihat daripada ulama saja. Semoga saya khususnya dan yang membaca umumnya mendapatkan manfaat. Aamiin.
Saya mulai dengan perkataan seorang ulama yang matanya buta, tapi hatinya dapat melihat dengan jelas, al Habib al Imam Abdullah bin Alwi AL hadad.
Wahai saudaraku tercinta!
Hendaknya kamu menguatkan keyakinanmu dan memperbaikinya. Karena yakin jika kokoh di dalam hati dan menguasainya, maka seakan-akan hal yang awalnya tak nampak mejadi nampak. Dan ketika orang yang memiliki keyakinan seperti ini akan mengatakan seperti perkataan Ali karomallahu wajhahu:
"Meskipun dibuka hal yang tertutup, tak akan menambah keyakinanku"
Kala Ramadhan Menerka
Kala Ramadhan Menerka
Kau kah itu?
Yang datang dengan jubah terindah,
Kau hitung tiap langkah,
Tak sabar bertemu aku,
Mempersembahkan hadiah yang kau rapihkan tiap waktu..
Kau kah itu?
Yang hanya menunggu,
Aku yang datang karena waktu,
Kau suguhkan sajian nikmat untuk datangku,
Namun, lalu kau bosan dan kembali lupakan aku,
Hanya karena aku ada, kau terpaksa menyapa,
Hingga aku pergi, kau mengusirku penuh tawa
Kau bahkan memakai pakaian terbaik,
Untuk kematianku..
Kau kah itu?
Yang merengut saat kupijakan rumput halamanmu,
Katamu, kau jadi tak jujur karenaku
Kau pura-pura rindu,
Tapi bahkan namaku pun kau tak tahu
Kau buat semesta memujimu karena cintamu padaku,
Tapi aku hanya merasakan pahitmu..
Kau kah itu?
Yang sama sekali tak peduli
Ada tiadaku,
Kau tetap sama,
Hanya berbeda jam kerja saja,
Pula jam tidur karena bekerja lembur
Kau kah itu?
Yang bahkan tak tahu aku ada
Lalu berkata,
Kau kok sudah datang lagi?
Rasanya baru kemarin kau kemari..
Kau kah itu?
Kau
Kau
Yang mana?
Cirebon, 25 Februari 2025
@albinyahya
Selasa, 18 Februari 2025
Pesan untuk Wanita dan Pria
Pesan untuk Wanita
Jangan kau bangun dinding yang terlampau tinggi,
hingga angin pun enggan menyapa pintumu.
Independensi itu indah, tapi jangan kau jadikan belati,
menusuk setiap hati yang ingin mendekatimu.
Standarmu menjulang seperti puncak menara,
tapi ingatlah, tak semua pria bersayap untuk terbang ke sana.
Bahkan yang kau sebut sempurna, yang kau damba dalam doa,
tak ingin mendaki jika kau hanya melihatnya dari atas sana.
Dan waktu pun berbisik perlahan,
usia bergulir, lembut tapi pasti.
Saat kau lelah berdiri sendiri, kau turunkan mahkotamu,
tapi adakah yang masih menunggu?
---Reply ---
Pesan untuk Pria
Sebenarnya dinding itu tak perlu kau pandangi,
Kau hanya perlu mencari pintunya saja,
Lalu buatlah kunci..
Hanya saja jangan kau tertipu rupa sang pintu..
Atau menyerah dan membuka pintu apapun yang termudah..
Bahkan mendobrak paksa hingga pemilik pintu menerimamu dengan ngeri..
Kau perlu tahu, wahai yang disebut pria muka bumi,
Kau perlu tahu dengan apa di balik pintu itu terisi
Apakah isinya hanya sampah yang akhirnya kau merugi,
Atau perabotan mahal yang membuatmu rendah diri,
Atau mungkin ternyata isinya dijual bebas saat kau pergi.
Kau harus tahu itu,
Sebab selalu hanya ada satu pintu,
Yang isinya membuatmu bahagia sepanjang waktu..
Memandangnya saja membuat senyummu tak bisa berhenti terbentuk,
Dan sang pemilik menjaganya meski kau tengah mengembara jauh..
Pintu itu,
Yang arsiteknya merencanakan sepenuh hati,
Interior di balik pintu itu hanya khusus untuk pembuka kunci,
Dan perabotannya akan selalu membuatmu bangga diri.
Kunci pintu itu tak pernah sulit hingga harus kau cari di gunung tertinggi,
Tidak pula harus samudera kau sebrangi,
Bahkan dinding tinggi itu tak perlu kau daki,
Kau hanya perlu membuat kuncinya,
Sama persis seperti aslinya,
Dia dibuat dari Kalam Ilahi tanpa cela..
---BukanOrangSempurna
---Reply ---
Pesan untuk Wanita (Lagi)
Pintu, katamu, cukup dicari kuncinya,
tapi bagaimana jika pemiliknya tak ingin membukanya?
Haruskah pria terus mengetuk,
sampai tangan letih dan harapan mengelupas?
Tidak semua pria memaksa masuk,
tidak semua pria menyerah begitu saja.
Ada yang datang membawa kunci,
namun pintu itu terlalu sibuk memilih,
menakar siapa yang pantas diberi izin.
Dan ketika akhirnya pintu mulai terbuka,
karena waktu berbisik bahwa kesendirian tak selamanya indah,
apakah pria yang datang pertama masih menunggu?
Ataukah ia telah pergi,
menemukan pintu lain yang tak ragu menyambutnya?
Bukan tentang siapa yang terbaik,
bukan pula tentang siapa yang lebih selektif,
tapi tentang kesiapan membuka hati,
tanpa menunggu usia memaksamu melunak.
Karena tak semua pria mencari pintu termudah,
tak semua pria takut pada perabotan mahal,
dan tak semua pria ingin masuk ke rumah yang terbuka untuk siapa saja.
Pria sejati tak hanya membawa kunci,
tapi juga hati yang siap menjaga.
Dan wanita sejati,
akan tahu kapan harus berhenti menakar,
dan mulai menerima yang benar-benar pantas.
— Ali Robiansyah
---Reply ---
Pesan untuk Pria (lagi)
Makannya, ku katakan padamu,
Hanya ada satu pintu yang layak kau tuju..
Ketika pemilik pintu mengacuhkanmu,
Padahal kau susah payah membuat kunci,
Itu bukan pintu yang layak bagimu,
Mengapa harus kau tunggu?
Aku hanya berpesan,
Untukmu yang mengaku pria sejati,
Karena terkadang kau tak bersiap,
Tergesa memilih pintu tanpa kunci,
Yang siapapun boleh masuk tanpa permisi
Atau karena terbuai dengan indahnya cat pintu warna warni,
Hingga isinya kau tak peduli
Bahkan mereka yang bergelar pria itu,
Terkadang bersusah payah membuat kunci,
Dan ia benar memilih pintu terbaik,
Namun setelahnya ia tak peduli.
Hanya duduk santai minta dilayani..
Kuharap kau bukan mereka..
Jika kau benar pria sejati,
Tentu takdir tak akan sudi
Kau di samping pemilik pintu yang tak ber-hati..
Jika kau benar pria sejati,
Tentu tak akan pernah rela,
Pemilik pintu harus menderita atas nama cinta,
Jika benar,
Ya, jika benar kau pria sejati,
Sungguh beruntung pintu yang kau buka dengan hati!
---BukanOrangSempurna
---Reply ---
Pesan untuk Wanita (Terakhir?)
Aku tak pernah memaksa pintu untuk terbuka,
sebab aku tahu, ada yang tak layak kuketuk lebih lama.
Pintu yang tak menoleh pada kunci yang kubuat dengan doa,
adalah pertanda, ia bukan tempatku berlabuh.
Namun, tahukah kau?
Tak semua pria ingin sekadar duduk dan dilayani,
sebagian datang membawa pondasi,
membangun, bukan sekadar menempati.
Dan jika pria terkadang memilih pintu yang salah,
bukankah wanita pun seringkali keliru?
Memasang harga terlalu tinggi,
atau menjual diri tanpa harga sama sekali.
Aku setuju, pria sejati tak akan membuat pemilik pintu tersiksa,
tapi wanita sejati pun tak akan membiarkan pintunya terbuka untuk siapa saja.
Jika aku pria sejati, maka kau pun harus jadi wanita sejati.
Bukan yang menunggu hingga waktu memudarkan seleksi,
tapi yang tahu kapan harus memilih,
tanpa perlu menunggu usia menuntut kompromi.
Sebab dalam dunia ini,
pintu dan kunci tak hanya tentang saling mencari,
tapi tentang kesadaran kapan harus membuka,
dan kapan harus berhenti menolak.
— Ali Robiansyah
---Reply ---
Pesan untuk Pria (Terakhir juga?)
Ya, aku mengerti,
Kepada siapa kau rangkai puisi,
Namun agar tak timpang neraca ini,
Ku suarakan pula suara hati wanita sejati..
Kami selalu menutup rapat pintu kami,
Bukan jual mahal,
Namun demi menepati janji dengan Tuhan,
Sebab hanya yang mampu membuka pintu kami saja yang boleh bersentuhan.
Kami bukan pemilik pintu itu,
Yang menyiakan mereka yang membawa kunci sesuai aturan.
Jadi pesan ini berlaku untuk mereka..
Pria yang memilih pintu terbuka
Agar bisa keluar masuk sesukanya,
Pesan ini untuk mereka,
Yang hanya berusaha memilih pintu terbaik untuknya,
Bukan untuk generasi setelahnya..
Pesan ini untuk mereka,
Pria tanpa selera,
Yang menyiakan mutiara di depan mata..
Ya, bukan untukmu..
Pria sejati yang seharusnya pemilik pintu terbaik..
Semoga,
Itu tidak hanya satu..
---BukanOrangSempurna
---Reply ---
Pesan untuk Wanita (Benar-benar Terakhir?)
Aku mengerti suaramu,
tentang pintu yang dijaga dengan janji,
tentang kunci yang hanya dibuat dari keikhlasan sejati.
Dan aku setuju, bukan harga yang dipasang tinggi,
tetapi kehormatan yang tak bisa dibeli.
Namun, izinkan aku berbicara pula,
bukan untuk menangkis,
bukan untuk membantah,
tapi untuk menyeimbangkan neraca kita.
Kami pun tak mencari pintu terbuka,
sebab yang terlalu mudah dimasuki,
seringkali tak layak ditempati.
Kami pun tak hanya mencari yang terbaik untuk hari ini,
tapi juga rumah bagi generasi nanti.
Bukan hanya pria yang harus bijak memilih,
wanita pun harus tahu kapan berhenti menimbang,
sebelum waktu mengikis pilihan.
Karena yang sejati, baik pria maupun wanita,
bukan yang hanya menunggu pintu terbaik terbuka,
tapi yang berani membuka dengan hati,
untuk seseorang yang benar-benar siap tinggal selamanya.
Maka semoga,
baik pria maupun wanita,
tak lagi saling beradu kata,
tapi mulai saling menjaga,
agar tak hanya satu yang sejati,
tapi dua, yang bersama selamanya.
— Ali Robiansyah
---Reply ---
Aku hanya ingin menjawab,
Sambil menatap langit yang mulai sembab,
Sebab dunia semakin gelap,
Kujawab di malam terkabul do'a,
Lima belas hari menuju bulan mulia,
Ketika Tuhan menetapkan takdir kita,
Semua semoga terbaik yang tertulis,
Ataupun yang terbesit dalam lintasan hati,
Semoga Tuhan kabulkan,
Sehingga lahir generasi sejati, dari dua yang sejati
Di malam nisyfu syaban yang mulia,
---BukanOrangSempurna
Terimakasih, Kawan!
Aku mengenalmu lewat untaian kata,
Yang melesat tak kenal jeda,
Bagai tembakan zionis di Palestina.
Semalam kutinggal tidur,
Kau dan Dahliya tengah mendengkur
Ditemani para penikmat hujan yang akur
Kubuka mata perlahan,
Pujangga cinta sudah meluapkan perasaan
Yang jatuh,
Yang dibuai,
Pula ditinggal tanpa pesan.
Kawan, aku tenggelam lagi
Dalam lautan diksi
Yang lama tak ku selami
Kawan, bara api itu perlahan terbakar
Dengan pemantik yang kau sebar
Dari kombinasi 26 huruf yang liar
Ah, betapa menyenangkan!
Meski tak tahu apapun tentangmu,
Membacamu membuatku tak segan,
Menyebutmu KAWAN
Terimakasih, Kawan!
---by: bukan orang sempurna
-----
for: semua yang menulis disini
Mencabut akar
Sekarang aku baru tahu
Bahayanya menanam benih tanpa sadar
Apalagi kupilih pupuk terbaik
Lalu kuperhatikan tiap saat
Kupikir buahnya aku yang nikmati
Kupikir teduhnya aku yang rasakan
Ternyata benih itu ada pemiliknya
Ia ambil tergesa
Tanpa ia tahu
Bahwa tanah yang kupakai menanam
Bukan tanah di halaman
Tapi tanah dari hatiku
Akarnya menancap ke dalamnya
Hingga saat ia ambil
Hatiku robek
Rasanya sungguh perih
Hingga aku berteriak pada sang hati
Kuatlah! Mengapa tidak kau pastikan
Benih itu sudah diberikan
Bukan sekedar titipan
Mengapa kau biarkan
Membagi perasaan
Pada suatu pinjaman
Bukan sang pemilik yang kejam
Tapi kau,
Kau yang keterlaluan
Tanaman kecil tumbuh kau biarkan
Dedaunan mulai riuh kau malah nyaman
Maka saat buah mulai terlihat perlahan,
Dan akar mulai kuat tertanam
Kau pikir dia pohon impian
Ternyata jauh dari kenyataan
Dia hanya titipan
Sabtu, 08 Februari 2025
Pesantren (bagian 3)
Seorang pria gemuk masuk ke kelas kami. Kacamata tebalnya membuktikan bahwa ia adalah kutu buku, atau kutu handphone ya? Intinya, matanya sering diajak bekerja keras sehingga membuatnya tak mampu melihat dengan jelas tanpa bantuan kacamata.
"Bismillahirrahmanirrahim..." Ketua kelas Shifir memimpin do'a belajar untuk menyambut kedatangan guru yang sangat mereka segani itu. Guru matematika.
"Allahumma shali ala Muhammad miftahi baabi rohmatillah adada ma fii ilmillah shalatan wa salaman daimaini bidawami mulkillah wa ala Alihi wa shohbihi ajmain." Serentak seluruh santri membaca do'a awal belajar itu. Aku terdiam saja sebab do'a itu sangat asing bagi telingaku.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Guru matematika itu memberi salam dengan suara yang penuh wibawa. Berbeda jauh dari perawakannya, suaranya membuat siapapun yang mendengarnya menaruh segan padanya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Serentak santri menjawab. Termasuk aku. Yah, sekedar jawab salam semua orang juga bisa kan.
"Sepertinya ustadz baru melihat antum, yang di sebelah Salman, siapa namamu?" Ustadz itu melihat ke arahku. Aku menunjuk diri, ustadz itu mengangguk sebagai jawaban bahwa ia memang sedang bertanya padaku.
"Arfi." Jawabku singkat. Malas benar berada di kelas ini.
"Sepertinya antum paling muda disini. Tapi kenapa ustadz merasa ada kesan sombong dari ucapanmu." Ustadz itu terus berbicara denganku. Rasanya aku ingin segera menyelesaikan kelas ini dan memulai rencana balas dendamku. Aku hanya tersenyum seadanya saja atas ucapan ustadz.
"Ustadz ingin tahu kamu ada di level mana untuk matematika di pesantren ini." Ustadz meneruskan ucapannya. Aku tak begitu menanggapinya. Meskipun aku seorang sarjana pertanian, tapi kalau matematika aku ahlinya. Di jurusanku saja aku selalu mendapat peringkat teratas untuk matematika. Di pesantren tak beda jauh, bukan? Aljabar? Algoritma? Yah, aku boleh sombong lah kalau untuk ini.
"Hei, Arfi!" Ustadz itu membentak sehingga lamunanku buyar. "Berani sekali antum tidak menjawab ustadz ya."
"Yang mana yang harus dijawab ustadz?" Jawabku ketus.
"Paling tidak, matamu jangan melihat ke arah lain saat orang berbicara. Apakah antum tidak belajar akhlak?" Ustadz itu membuatku semakin tak betah di kelas. Semua santri sekelilingku terdiam, tak ada yang berani menatap ke arahku atau ustadz. Semua menunduk ketakutan. Sepertinya ustadz ini memang punya tempramen yang buruk. Dia sok pintar sekali mentang-mentang guru. Apakah guru disini semua seperti ini? Hah, pantas saja..
"Arfi! Lagi-lagi kamu melihat ke arah lain! Hobimu melamun ya?" Ustadz itu terus mengomel.
"Ustadz, saya harus menjawab apa. Berikan saja soalnya." Ucapku