Seorang pria gemuk masuk ke kelas kami. Kacamata tebalnya membuktikan bahwa ia adalah kutu buku, atau kutu handphone ya? Intinya, matanya sering diajak bekerja keras sehingga membuatnya tak mampu melihat dengan jelas tanpa bantuan kacamata.
"Bismillahirrahmanirrahim..." Ketua kelas Shifir memimpin do'a belajar untuk menyambut kedatangan guru yang sangat mereka segani itu. Guru matematika.
"Allahumma shali ala Muhammad miftahi baabi rohmatillah adada ma fii ilmillah shalatan wa salaman daimaini bidawami mulkillah wa ala Alihi wa shohbihi ajmain." Serentak seluruh santri membaca do'a awal belajar itu. Aku terdiam saja sebab do'a itu sangat asing bagi telingaku.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Guru matematika itu memberi salam dengan suara yang penuh wibawa. Berbeda jauh dari perawakannya, suaranya membuat siapapun yang mendengarnya menaruh segan padanya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Serentak santri menjawab. Termasuk aku. Yah, sekedar jawab salam semua orang juga bisa kan.
"Sepertinya ustadz baru melihat antum, yang di sebelah Salman, siapa namamu?" Ustadz itu melihat ke arahku. Aku menunjuk diri, ustadz itu mengangguk sebagai jawaban bahwa ia memang sedang bertanya padaku.
"Arfi." Jawabku singkat. Malas benar berada di kelas ini.
"Sepertinya antum paling muda disini. Tapi kenapa ustadz merasa ada kesan sombong dari ucapanmu." Ustadz itu terus berbicara denganku. Rasanya aku ingin segera menyelesaikan kelas ini dan memulai rencana balas dendamku. Aku hanya tersenyum seadanya saja atas ucapan ustadz.
"Ustadz ingin tahu kamu ada di level mana untuk matematika di pesantren ini." Ustadz meneruskan ucapannya. Aku tak begitu menanggapinya. Meskipun aku seorang sarjana pertanian, tapi kalau matematika aku ahlinya. Di jurusanku saja aku selalu mendapat peringkat teratas untuk matematika. Di pesantren tak beda jauh, bukan? Aljabar? Algoritma? Yah, aku boleh sombong lah kalau untuk ini.
"Hei, Arfi!" Ustadz itu membentak sehingga lamunanku buyar. "Berani sekali antum tidak menjawab ustadz ya."
"Yang mana yang harus dijawab ustadz?" Jawabku ketus.
"Paling tidak, matamu jangan melihat ke arah lain saat orang berbicara. Apakah antum tidak belajar akhlak?" Ustadz itu membuatku semakin tak betah di kelas. Semua santri sekelilingku terdiam, tak ada yang berani menatap ke arahku atau ustadz. Semua menunduk ketakutan. Sepertinya ustadz ini memang punya tempramen yang buruk. Dia sok pintar sekali mentang-mentang guru. Apakah guru disini semua seperti ini? Hah, pantas saja..
"Arfi! Lagi-lagi kamu melihat ke arah lain! Hobimu melamun ya?" Ustadz itu terus mengomel.
"Ustadz, saya harus menjawab apa. Berikan saja soalnya." Ucapku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar