I.
Pendahuluan
Wanita
haidh atau nifas haram melakukan sesuatu yang juga diharamkan bagi orang yang
berhadats kecil, yaitu:
1. Shalat
2. Thawaf
3. Memegang Mushaf
4. Membawa Mushaf
Dia juga haram melakukan yang dilarang
bagi orang yang junub, yaitu empat perkara di atas ditambah:
1. Berdiam diri di
masjid
2. Membaca
Al-Qur’an dengan berniat membaca Al-Qur’an
Dan ditambah lagi keharaman bagi
wanita haidh dan nifas dengan perkara-perkara berikut:
1. Puasa
2. Talak
3. Melewati masjid
jika takut mengotori masjid
4. Mubasyaroh diantara pusar dan lutut
5. Bersuci dengan
niat ibadah
Dan semua perkara tersebut akan
segera dijelaskan pada sub bab berikutnya.
II.
Shalat
Haram
bagi orang yang haidh shalat, baik fardu
maupun sunah, ataupun shalat jenazah,
atau sujud tilawah, sujud syukur,dsb. Dalam masalah ini ada dua perkara amat
penting yang harus dijelaskan, yaitu: a. Datangnya pencegah, b. Hilangnya
pencegah. Maksud dari pencegah disini adalah sesuatu yang membuat seseorang
tidak boleh melaksanakan shalat, seperti haidh, nifas, hilang akal, atau
pingsan.
a. Hilangnya
pencegah
Jika
seorang wanita suci dari haidh atau nifas sebelum keluar waktu shalat, walaupun
hanya seukuran waktu yang mencukupi untuk takbiratul ihram, dia wajib mengqodo
shalat tersebut dengan dua syarat:
1. Tetap dalam
keadaan bebas dari pencegah seukuran waktu yang mencukupi untuk bersuci dan
melaksanakan syarat-syarat shalat (menutup aurat, menghadap kiblat, dsb)
2. Tetap dalam
keadaaan selamat dari pencegah seukuran waktu yang mencukupi melaksanakan
shalat tersebut seringan mungkin.
Dan
wajib juga baginya qodo shalat yang sebelumnya jika shalat tersebut bisa
dijama’ dengannya, seperti dzuhur dan ashar, dan magrib bersama isya dengan
tambahan syarat: tetap selamat dari pencegah seukuran dua shalat tersebut
seringan mungkin.
Untuk
lebih jelasnya, kami berikan beberapa contoh:
·
Misalnya seorang wanita haidh suci 5 menit sebelum
waktu ashar berakhir, maka ia wajib mengqodo shalat ashar dan dzuhurnya jika
memenuhi syarat-syarat di atas.
·
Misal kedua: seorang wanita suci dari haidh 5 menit
sebelummagrib, kemudian 15 menit setelah magrib ia pingsan (pencegah). Maka ia
tetap wajib mengqodo shalat dzuhur dan asharnya karena waktu sebelum ia pingsan
mencukupi untuk bersuci, melaksanakan syarat shalat, dan shalat seringan
mungkin.
b. Datangnya
pencegah
Jika
seorang wanita mengalami haidh atau nifas di awal waktu shalat atau di
pertengahan waktu shalat dan belum melaksanakan shalat tersebut, maka wajib
ketika ia suci untuk mengqodo shalat tersebut dengan syarat: Wanita tersebut
menemui waktu yang memungkinkan melakukan shalat tersebut sebelum datangnya
haidh, ditambah dengan waktu yang mencukupi untuk thaharah jika tidak
dimungkingkan untuk bersuci sebelum waktu shalat (thaharah darurat)
Inilah
beberapa pemisalannya:
·
Misal pertama: seorang wanita mengalami haidh 15 menit
setelah masuk waktu dzuhur, dan ia belum melaksanakan shalat tersebut. Maka
wajib baginya mengqodo dzuhur, karena ia menemui waktu yang mencukupi untuk
melakukan shalat tersebut.
·
Misal kedua: jika seorang wanita haidh bersamaan
dengan masuknya waktu ashar, maka ia tak wajib mengqodo shalat tersebut, karena
ia tak menemui waktu yang mencukupi untuk melaksanakan shalat.
III.
Thawaf
Haram
bagi orang yang haidh dan nifas untuk melaksanakan thawaf di Ka’bah. Adapun
dalilnya adalah:
1. Sabda Rasulullah
saw: “Thawaf sama kedudukannya seperti shalat, hanya saja Allah memperbolehkan
bebicara dalam thawaf.” (HR. Tirmidziy)
2. Dan diriwayatkan
dari Bukhari dan Muslim dari Sayyidah Aisyah ra.: “Sesungguhnya Rasul saw
bersabda kepadanya ketika Sayyidah Aisyah haidh di dalam haji: ‘lakukanlah
semua yang dilakukan orang yang berhaji, selain thawaf di Ka’bah’”
3. Ulama telah
bersepakat atas keharaman thawaf atas wanita haidh dan nifas. Dan tidak sah
bila dia mengerjakan thawaf, baik fardu maupun sunah. Maka selain itu, dia
tidak dilarang melakukan manasik haji.
IV.
Memegang dan membaca mushaf
Haram
atas orang haidh dan nifas memegang dan membawa Mushaf berdasarkan firman Allah
:
Artinya:
Tidaklah menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci ( Al-Waqiah:79)
Dan
juga berdasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidaklah memegang Al-Qur’an
kecuali orang suci.” (HR. Daraqatni dan Hakim)
Yang
dimaksud mushaf disini adalah: semua yang ditulis untuk membaca Al-Qur’an,
walaupun hanya sebagian ayat yang mampu memahamkan. Dan haram pula memegang
Al-qur’an, meskipun hanya kainnya.
Ada 3
hukum dalam membawa Mushaf:
1. Boleh membawa
Mushaf dan barang-barang lainnya, jika berniat membawa barang saja.
2. Jika membawa
barang bersama Mushaf, dan hanya berniat membawamushaf saja, maka haram.
3. Jika berniat
membawa barang dan Mushaf atau tidak berniat apa-apa, maka boleh menurut Imam
Romli dan haram menurut Imam Ibnu Hajar.
V.
Berdiam diri di masjid
Haram
atas wanita haidh dan nifas untuk berdiam diri di masjid, berdasarkan sabda
Rasul saw “Sesungguhnya aku tidak memperbolehkan masjid bagi orang yang haidh
dan junub.”(HR. Abu Dawud)
Begitupula
mondar-mandir di dalam masjid, maka itu adalah haram karena menyerupai berdiam
diri.
VI.
Membaca Al-Qur’an dengan niat
membacanya
Haram
bagi orang yang haidh dan nifas untuk membaca Al-Qur’an berdasarkan sabda
Rasululllah saw: “Tidaklah orang yang
junub dan haidh itu membaca sesuatu pun dari Al-qur’an.” (HR. Tirmidzi)
Tetapi
keharaman ini dengan dua syarat:
1. Memang berniat
membaca Al-Qur’an saja atau berniat membaca Al-Qur’an dan yang lainnya. Oleh
karena itu jika tidak berniat membaca Al-Qur’an, misalnya bermaksud dzikir,
atau menasehati, atau berkisah, dan tidak berniat bersama itu semua untuk
membaca Al-Qur’an, maka diperbolehkan.
2. Adanya membaca
Al-Qur’an tersebut dengan suara yang dapat didengar oleh dirinya sendiri. Maka
tidaklah haram untuk membaca Al-Qur’an di dalam hati selama tidak mengeluarkan
suara, atau melihat mushaf selama tidak mengucapkannya.
Dan
ulamabersepakat atas kebolehan dalam bertasbih, bertahlil, dan semua dzikir
selain Al-Qur’an bagi orang yang haidh.
VII.
Puasa
Semua
ulama bersepakat atas keharaman puasa
bagi wanita yang haidh dan nifas, dan jika mereka puasa maka tidak sah.
Dalil
atas keharaman puasa ialah Hadist Aisyah
ra yang diriwayatkan Muslim, bahwa beliau berkata, “Kami diperintahkan untuk
mengqodo puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodo shalat.” Ini dalil bahwa
mereka tidak puasa.
VIII.
Talak
Haram
menceraikan wanita yang haidh berdasarkan firman Allah swt yang artinya: “Wahai
Nabi, jika kamu hendak menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada
masa idah mereka, dan hitunglah masa iddah.”
Makna
ayat tersebut adalah jika seorang suami ingin menceraikan istrinya, maka hendaknya
menceraikan mereka saat mereka suci yang tidak berhubungan pada masa suci
tersebut. Adapun maksud menghitung iddah ialah agar bisa kembali rujuk di massa
iddahnya.
Maka
ketika Ibnu Umar menceraikan istrinya yang sedang Haidh, Rasulullah saw
memeintahkannya untuk rujuk dan menunda perceraian hingga suci. Adapun
alasannya ialah, wanita haidh akan mengalami iddah yang lama bila dicerai.
Begitu pula haram bagi suami menceraikan istri pada masa suci yang ia
berhubungan dengannya.
Tetapi
wanita haidh tidaklah haram menggugat cerai jika ia memberikan sejumlah harta
untuk gugatannya. Kalau tidak memberikan sejumlah harta, maka haram.
IX.
Melewati masjid jika takut
mengotorinya
Haram
bagi orang yang haidh atau nifas untuk melewati masjid jika takut mengotori
masjid, walaupun hanya prasangka, untuk menjaga kesucian masjid.
Disamakan
dengan orang yang haidh dan nifas yaitu semua orang yang berhadast yang
ditakutkan mengotori masjid, jika tidak mengotori masjid, maka hukumnya makruh.
X.
Mubasyaroh antara pusar dan lutut
Ulama
bersepakat atas keharaman suami mendatangi istrinya yang sedang haidh
berdasarkan firman Allah swt yang artinya:
“dan
mereka bertanya padamu tentang wanita haidh. Katakanlah itu adalah kotoran,
maka jauhilah wanita yang haidh, dan jangan mendekatinya sampai ia suci. Maka
jika dia telah suci, datangilah mereka dari arah yangdiperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan
orang-orang yang bersuci.” (Al-baqarah:222)
Dan
banyak pula Hadits shahih yang menerangkan hal ini. Imam Syafi’i berkata:
Barangsiapa yang melakukannya, maka ia telah melakukan dosa besar.
Begitupula
haram bagi suami untuk mubasyarah dengan istrinya yang haidh di antara pusar
dan lutut. Sesuai dengan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Majah dan
Baihaqi, beliau ra berkata: Aku bertanya pada Rasulullah saw apa yang boleh
bagi suami untuk istrinya yang sedang haidh? Rasulullah saw menjawab: “Yang ada
di atas sarung”
Dan di
dalam hadits dari Aisyah ra, beliau berkata: “Jika ada salah satu dari kami
(istri-istri Rasul saw) haidh, dan Rasulullah ingin menyentuhnya, maka beliau
menyuruhnya memakai sarung di awal haidhnya. Kemudian menyentuhnya. Lalu Aisyah
ra berkata, ‘mana di antara kalian yang memiliki hajatnya sebagaimana Nabi saw
memiliki hajatnya.”
Namun
ulama berpeda pendapat, Apakah yang haram adalah mubasyarah (bersentuhan) atau
istimta’ (bersenang-senang):
·
Berkata sebagai ulama bahwa yang haram adalah
Mubasyarah. Berdasarkan hal itu, maka haram menyentuh (kulit bertemu kulit)
antara pusar dan lutut, sama saja dengan syahwat maupun tidak. Jika hanya
memandang, maka tidak haram walaupun dengan syahwat.
·
Sebagian lagi berkata yang haram adalah istimta’. Oleh
karena itu haram melihat dan memegang jika dengan syahwat.
XI.
Bersuci dengan niat ibadah
Jika
seorang wanita haidh, maka haram baginya untuk bersuci dengan niat ibadah
bersama tahunya dia bahwa hal tesebut tidak sah, maka dia berdosa, karena ia
dianggap meremehkan syariat agama. Bersuci yang dimaksud adalah mandi besar
ataupun wudhu. Adapun bersuci yang sunah seperti mandi untuk ihram, wuquf, dan
melempar jumrah, maka sunah juga bagi orang yang haidh.
Sumber:
Kitab Al-Ibanah Wal Ifadhoh, Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Assegaf