Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Selasa, 22 November 2011

Menatap Petani Indonesia


Bismillahirrahmanirrahiim

Menjejakkan kaki di Bogor sebagai mahasiswa pertanian adalah pilihan yang cukup menggelikan, mengingat Bogor dikenal sebagai kota hijau bukan karena banyak tanaman hijau, tapi karena banyak angkot hijau. Angkutan Umum (Angkot) memang membludak disini, akibatnya kemacetan adalah makanan sehari-hari bagi warga Bogor, apalagi kalau sudah memasuki malam minggu. Waahh, bersiaplah menahan mual sebab kau akan menikmati perjalanan berjam-jam untuk jarak yang cukup dekat.

Oke, mari sejenak mengendapkan asap-asap angkutan umum itu dan berbicara tentang hal yang lebih menyegarkan (atau menyesakkan ya?), Pertanian Indonesia.

Apa yang kau tahu tentang pertanian?
Sungguh aku sangat malu jika pertanyaan ini muncul. Meskipun bergelar mahasiswa pertanian, tapi lidahku tetap saja kelu bila harus mengurai tentang bidang ini. Ada sesak yang tiba-tiba menyerangku ketika memandang wajah pertanian Indonesia saat ini.

Tapi biarlah, kutuang sesak itu disini, meski hanya dalam untaian huruf, semoga ia bermanfaat..


Apa yang kau makan pagi ini? Nasi dan perkedel? Atau tempe? Tahu? Kita hampir-hampir memenuhi tubuh kita dengan produk luar negeri. Makanan pagi hari semisal roti sampai buah-buahan yang dipajang indah di supermarket adalah pelakunya. Mereka berasal dari luar negeri, datang jauh-jauh ke Indonesia untuk menjadi pesaing bagi kaum yang termarjinalkan: petani Indonesia. Tak perlu kusebut kau sudah tahu bukan bahwa orang-orang yang disebut miskin di negeri ini sebagian besar adalah mereka yang bermata pencaharian sebagai petani. Miris dan ironis, padahal mereka yang menyediakan makanan untuk kita, namun mereka sendiri kewalahan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka jadilah mereka mencari pekerjaan lain selain menjadi petani, seperti buruh bangunan misalnya.

Ada yang salah. Sistem telah mendidik kita untuk tidak peduli dengan ini. Berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanian, belum ada yang dapat membuat nafas petani kembali normal. Selalu saja sesak, bahkan bagi saya sendiri-sang calon petani-. Apalagi kalau mendengar kebijakan yang orang-orang pintar itu buat tentang produk yang boleh masuk ke dalam negeri alias impor, tambah sesaklah dada ini, seolah-olah mereka ingin membunuh petani secara perlahan. Satu-satunya yang dapat menghibur petani hanyalah janji-janji manis orang-orang berdasi saat pesta demokrasi tiba. satu dua hari atau paling lama satu bulan. Namun, hiburan memang selalu bersifat sementara, selanjutnya kembali mereka menghadapi realita: ini Indonesia!

Pemerintah wajib bertanggung jawab, ya tentu saja. Tapi apakah kita hanya bisa diam saja? Atau hanya berkoar-koar di depan gedung mereka bahkan hingga merusak? Tidak, bukan itu yang dapat mengembalikan senyum petani Indonesia. Kita mahasiswa, Bung! Percaya atau tidak, tapi mahasiswa memang lebih didengar pendapatnya, mereka adalah pemuda yang punya ilmu pengetahuan. Maka kitalah yang harus mengambil bagian, menjadi salah satu bata yang memperkokoh pertanian Indonesia.

Bagaimana? Tumbuhkan kepedulian itu. rasa yang sudah lama bersembunyi di dalam hatimu itu. Suburkanlah. Lihatlah petani kita, mereka yang berpeluh setiap hari, menyiangi tanaman di tengah terik matahari. mereka yang rela memakan nasi kualitas rendah untuk menyajikan nasi kualitas tinggi pada masyarakat. Mereka yang megap-megap melihat harga pupuk melambung tinggi. Mereka yang digorok oleh para petinggi, rela mati hanya demi pertanian.

Peduli itu bisa dimulai dengan hal kecil, kawan. Berhentilah mengkonsumsi mie atau produk luar negeri. Memang sulit, karena produk lokal lebih mahal dibanding produk impor. Tapi setidaknya itulah salah satu kepedulian kita yang mampu kita lakukan.

Segala sesuatu dimulai dari hal kecil. Suarakan derita petani! Ahh, apakah mereka yang di gedung itu tak mendengar rintihan anak-anak petani yang busung lapar ini? apakah dindingnya terlalu tebal hingga meredam suara?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar