Welcome!!

Bismillahirrahmanirrahiim....

Kamis, 24 November 2011

Engkaulah Cahaya, Nur!

Aku ingin bercerita tentang Ibuku. Terserah kau peduli atau tidak, setidaknya jika suatu saat nanti wajahku mengkerut, aku dapat membaca lembar ini dan bersyukur kepada Dia yang memberiku kesempatan sebagai anak dari seorang wanita hebat sepanjang masa dalam hidupku: IBUKU!

Dia ibuku, yang tersenyum manis saat aku menatapnya, sejelek apapun tatapku. Sejak kecil, Ibu sangat rajin menceritakan banyak hal padaku, tentang masa hidupnya yang luar biasa. Aku heran, mana mungkin seseorang dapat mengingat dengan jelas nama orang, tempat dan kejadian dengan sangat spesifik padahal kejadian itu sudah berpuluh tahun lalu. Tapi, itulah ibuku, kawan. Dia bahkan ingat suasana persalinan setiap anaknya, satu persatu. Subhanallah. Dia Ibuku!

Dia lahir di sebuah kota yang damai, jauh dari keramaian politik, sebuah kota bernama Pekalongan. Aku pernah kesana beberapa kali, dan aku suka kota itu kecuali siang hari karena panas teriknya membakar kulitku hingga keringat membanjir. Maklum, Pekalongan ini kota yang dekat dengan pantai, jadi ya begitulah memang suasana pantai. Tapi di luar itu, aku suka Pekalongan, terutama makanannya. hehe. Kota inilah yang mendapat kesempatan mulia menjadi saksi lahirnya seorang wanita paling bersejarah dalam hidup seorang aku.

Baru saja berumur lima tahun, Ibuku harus merelakan malamnya tanpa ditemani ayah lagi. Ayah dan Ibu dari Ibuku bercerai, dari sinilah kawan, disini awal mula Tuhan mendidik Ibuku menjadi wanita kuat. Inilah awalnya..

Entah apakah benar perceraian kedua orang tua dari Ibuku disebabkan ekonomi ataukah penyebab lain yang aku tak tahu, yang jelas setelah perceraian ini, sikap keluarga besar dan tetangga berubah total. Harus kujelaskan di awal, kawan, Ibuku berasal dari keluarga Arab dan tinggal di kampung Arab. adalah suatu cela di kalangan Arab bila ada perceraian, karena walaupun halal, perceraian adalah hal yang dibenci Allah dan sebisa mungkin mesti dihindari meskipun dengan beragam cara. Jika dengan menahan derita kau bisa membuat pernikahanmu tetap utuh, menderitalah. Tapi tidak bagi nenekku, kawan. Sejak kecil ia selalu ingin melakukan apa yang ia inginkan, dan hari ini pun begitu. Ia ingin berpisah dengan lelaki yang memberinya dua anak, sekali lagi entah alasan apa yang melatarbelakanginya, namun akhirnya mereka pun berpisah. Dan ganjarannya, ia harus rela dikucilkan keluarga dan masyarakat kampung Arab. Sayangnya bukan hanya nenek yang mendapat pengucilan, anak perempuannya pun begitu, ya, Ibuku harus rela pula dikucilkan.

Semenjak itu, Ibu mengikuti nenek dan kakak laki-lakinya mengikuti ayah. Karena nenekku tak diterima lagi di keluarga, dan bukanlah sifat nenekku untuk mengemis atau meminta-minta, maka dengan seluruh keberaniannya ia pergi dari kampung halamannya. Merantau, membawa anak kecil yang polos, yang mengira akan diajak jalan-jalan oleh ibunya. Anak kecil itu Ibuku, ia hanya tersenyum menatap Ibunya yang berjanji membelikan anting emas imitasi di kota antah berantah.

"Ayo kita pergi, Nak." Nenekku menggamit tangan mungil Ibu. Dan Ibu masih tersenyum. Ibu masih belum tahu bahwa kelak senyum ini mungkin akan lama kembali.

......

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar